4 Hari kemudian...Hari-hari berjalan seperti normalnya.
Semua orang di rumah sudah mulai terbiasa. Segalanya seperti semula. Maka untuk merayakan sedih yang telah pulih, Mayang mengajak semuanya masak. Wanita itu pernah berjanji untuk menyediakan menu seafood pada Tante Reyyen beberapa waktu lalu. Mereka masak di halaman samping yang memiliki kanopi. Kanopi tersebut melindungi mereka dari salju. Hanya Om Emran yang tidak ikut bergabung, beliau sibuk di meja kerjanya.
“Ya, dia ahlinya,” bocor West pada Tante Reyyen. Pria itu sedang membakar ikan. “Aku sudah mencoba banyak masakannya.”
Tante Reyyen yang berada di samping Mayang, takjub. Mereka sibuk membuat chermoula--saus yang sering jadi pelengkap masakan masyarakat Madagaskar.
“Sejak di panti aku terlatih di dapur,” tukas Mayang. “Sejak kecil Umi Haifa mendidik kami untuk mandiri.”
“Perempuan memang harus jago masak,” sebut Tante Reyyen, lantas mencicipi chermoula. “Enak juga!”
Mayang lantas mengaduk lagi chermoula. Sementara Tante Reyyen menambahkan sedikit garam di dalam mangkuk untuk menambahkan rasa gurih.
“Apakah ini perlu ditambahkan margarin lagi?” tanya West. Sebelah tangannya memegang kuas.
“Ya sepertinya,” jawab Mayang dengan kepala condong ke arah West yang berada di depan pemanggang. Wannita lalu membawa saus dan sejajar dekat West. Mayang mengevaluasi kinerja pria tersebut. “Cukup bagus,” puji Mayang.
“Aku ahlinya!” West memuji diri sendiri.
“Ya hanya saja kau tidak pernah memberiku kesempatan memasak waktu di Toamasina,” West menguji. “Kalau tidak, skill memasakku akan lebih baik dari sekadar bakar ikan.”
Mayang tertawa. “Pria sepertimu bisa tahan di dapur?”
West memberengut bibir.
“Waktu di rumah Ayah saja, kau tak membantu. Aku dan Bibi Aina yang memasak.”
“Kan kau tak menyuruhku.”
Mayang memajukan bibir bawah.
Tante Reyyen yang berada di belakang, memperhatikan mereka. Sekian menit. Beliau melipat tangan di dada, kemudian tersenyum. Lama memperhatikan mereka, tiba-tiba wanita itu menyadari sesuatu, dan paham akan situasi.
Beliau berhenti tersenyum, lantas mengambil penjepit stainless dan mendekat ke keduanya. Tante Reyyen membalikkan ikan di panggangan. “Sepertinya semua sudah matang.”
“Masih ada satu,” ujar West, lalu mengambil satu ikan mentah di samping samping pembakaran. Pria itu mengoles margarin, dan meletakkan ikan di atas japit panggangan.
“Sepertinya ini akan enak, baunya kecium,” sebut Tante Reyyen, kemudian beliau fokus ke Mayang. “Omong-omong, terima kasih sudah mau datang ke sini,” ujar Tante Reyyen. “Sudah memenuhi keinginan terakhir East.”
Mayang menyemat senyum.
“Jadi kapan rencananya kamu balik?” tanya Tante Reyyen, hal itu membuat West dan Mayang tiba-tiba saling pandang.
Mayang pura-pura mengaduk chermoula. “Mmmm... kurasa secepatnya.”
“Minggu ini?”
Mayang setengah ragu menjawab, “I--ya.” Wanita itu memindahkan beberapa potongan kubis yang tak jauh dari panggangan.
West yang mendengar jawaban tersebut mendadak gusar. Seperti sebuah kehilangan yang lebih awal.
“Aku harus kembali ke toko. Dan harus mengajar di panti, Umi Haifa membutuhkanku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer in Madagaskar, Winter in Istanbul [Completed]
SpiritualImpianku sederhana, mencintaimu seperti dulu. *** Mayang tak pernah menduga, menunggu pria selama setahun bisa menyuburkan rindu sekelam ini. Namun yang dia yakini, cinta mampu meruntuhkan segalanya. Sayang saat East datang membawa harapan, cinta ya...