9

343 67 11
                                    

Rere terbangun dari posisi tidurnya menjadi setengah duduk, ia melihat kearah jam yang berada di kamarnya dan sekarang jam menunjukan pukul sembilan malam. Rere menghela nafas pasrah lalu meraih ponselnya yang berada diatas nakas. Tak ada satupun notifikasi dari Ten, akhir akhir ini hubungan keduanya memang agak
sedikit merenggang. Tak saling bertatap muka, bahkan saling menanyai kabar lewat chat pun sudah jarang.

Entahlah akhir akhir ini Rere selalu diselimuti oleh kebimbangan, bahkan waktu itu Ten pernah mengajaknya untuk bertemu namun ia lebih memilih untuk menghindar dan sampai sekarang mereka belum bertemu kembali. Rere tak tahu bahkan ia belum siap jika harus mengatakan sebenarnya pada Ten jika ia sedang mengandung anaknya. Ia takut karena anak ini Ten akan menjauhinya, berbagai pikiran negatif terus melintas didalam benaknya.

Ia membuang nafasnya kasar, mencoba menelpon Ten meskipun hatinya benar benar tak siap jika harus melihat reaksi Ten nantinya.

"Hallo,"

Suara itu menusuk tajam kedalam telinganya, kerinduannya kini terbayarkan dengan suara lembut itu, namun ia dan tak semesta tak pernah tau apa yang akan terjadi di detik selanjutnya.

"Re,"

Lagi lagi gadis itu hanya terdiam kaku, ia kembali larut dalam lamunannya. Matanya menatap kearah jendela dengan tatapan kosong.

"Kenapa nelpon Re? Mau ketemu gue Re?" Kini ucapannya berhasil membuyarkan lamunannya, Rere mengerjapkan kedua mata cantiknya.

"Ah iya, kenapa bang?" Gugup Rere, jantungnya semakin tak karuan.

"Lah, bukannya tadi Lu yang nelpon gue Re? Kenapa nelpon?" Rere menggigit bibirnya tanpa diketahui Ten, ingin sekali dirinya merutuki dirinya yang terlalu tolol.

"Tuh kan diem lagi, mau apa? Mau ketemuan? Atau mau apa?" Cerocos Ten yang membuat Rere menggeleng lemah.

"Gue mau ngomong sesuatu bang," Gugup Rere dengan keringat yang terus membasahi keningnya.

"Ngomong apa?" Tanya Ten penasaran sembari membenarkan letak kaca matanya.

"Eum sebenernya gue—hamil bang." Rere membuang nafasnya kasar, lalu disebrang sana Ten terlihat sedikit terkejut dengan penuturan katanya yang baru ia ucapkan beberapa detik yang lalu.

"Apa hamil? Mana mungkin? Jangan bercanda ya Re," Ucap Ten tak percaya sembari mengusap wajahnya kasar.

"Gue ga bercanda bang, gue serius." Jelas Rere memastikan.

"Tapi gue gapernah lakuin itu," Jelas Ten yang membuat hati Rere jatuh mencelos.

"Ga lakuin gimana bang? Abang mungkin gasadar karena abang mabuk waktu itu, dan Abang juga paksa Rere buat mabuk dan akhirnya kita lakuin itu pas kita sama sama gasadar." Jelas Rere dengan air mata yang mulai menetes kembali membasahi pipi chubbynya.

"Kalo itu emang bener, maaf gue gabisa tanggung jawab. Gue harus ke luar negeri buat nerusin kuliah, gue ga mau nyia nyiain beasiswa gue." Jelas Ten yang membuat bibir Rere terdiam kaku ia tak mampu berkata apa apa mulutnya seakan akan terkunci rapat rapat.

"Tega Lo bang," Isak Rere sembari menyeka air matanya kasar.

Terdengar disana Ten membuang nafasnya dengan gusar, "Masa depan gue lebih penting, Re." Jelasnya dengan datar, entah berapa kali telinganya dibuat seakan akan meledak dengan penjelasannya.

"Oh Lo bilang masa depan Lo penting kan? Terus masa depan gue? Lo udah renggut masa depan gue, Lo sadar gasih kalo gue juga punya masa depan?" Kesal Rere sembari meremas selimutnya dengan perasaan yang campur aduk.

"Kenapa Lo yang marah? Harusnya Lo nolak pernjanjian Abang lo sama gue." Jelas Ten yang membuat tangan Rere mengepal kuat.

"Apa? Gue nolak? Waktu itu gue udah coba ngehindar tapi apa? Lo bilang perjanjian tetap perjanjian." Amuk Rere kesal, sebelumnya ia tak pernah sekesal ini namun entah mengapa kali ini ia benar benar marah.

Hello Puberty | Winwin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang