17

45.6K 1.9K 59
                                    

Tangan pak Revan yang merangkul bahuku, menahan agar aku tetap berdiri di sampingnya. Aku berjalan dengan kikuk di sisi pak Revan saat memasuki restauran.

Aku menahan nafas saat mencium aroma pak Revan yang maskulin. Sungguh merasakan aroma yang menguar dari tubuh pak Revan yang memabukkan membuat jantung berdugem-ria.

'Plisss jantung tenanglah, jangan genit!'

Kini kami berdiri di salah satu ruangan di lantai tujuh. Ruangan ini seperti ruangan private. Di bagian pojok ada mini-bar dan sofa panjang lengkap dengan meja kecil dan tv LED yang menggantung di depannya.
Tak jauh dari meja ada sebuah meja billiard. Di bagian balkon ada sebuah meja berbentuk lingkaran yang di tutup dengan table cloth berwarna putih lengap dengan dua kursi. Di atas meja sudah dihiasi dengan vas kecil terbuat dari kaca bening yang diisi dengan mawar merah dan dua buah lilin yang diletakkan di sisi vas bunga. Ditambah dengan pembatas setiap sudut balkon juga terbuat dari kaca terlihat sangat mempesona.

Pak Revan membimbingku menuju balkon serta menarik salah satu kuri untukku bersikap layaknya seorang yang gentle.

Aku dapat merasakan angin malam yang berembus serta pemandangan langit yang dihiasi bintang tampak sangat memukau.

Pak Revan menyusul duduk dihadapanku, Ia menerima menu sementara pelayan kembali datang menuangkan air.

"Kau ingin apa?" tanyanya padaku.

Aku berpikir sejenak, kemudian menjawab "Bapak aja yang pesan untukku"

Dia mengangguk, mengembalikan buku menu lalu mengutarakan satu demi satu pesanan pada pelayan.

Tak lama kemudian pelayan kembali datang untuk menuangkan air.

"Saya sudah pernah mengatakan, jangan panggil saya bapak!" ujarnya seraya menyesap mocktail-nya.

'Apaansih? Kenapa jadi bahas itu lagi?

"Tapi bapak emang guru saya. Saya harus manggil apa kalo bukan bapak?" tanyaku.

"Kamu boleh memberi panggilan lain selain bapak. Karena saya memang bukan bapakmu!"

"Saya nggak mau! Saya akan tetap manggil bapak!" aku masih keukeuh menolak.

Sembari menyesap mocktail miliknya, dia menatap seolah mengawasiku.

"Tidak ada bantahan! Kamu tidak boleh memanggil saya bapak lagi!" titahnya.

'Uhhh benar-benar menyebalkan!'

"Kalau di sekolah?" tanyaku dengan suara pelan.

"Kamu boleh memanggil saya bapak! Tapi ingat, cuma di sekolah" ucapnya menuntut.

Aku berdecak kesal, lalu mengambil gelas mocktail milikku dan meneguknya hingga tandas. Aku butuh sesuatu yang dingin untuk membuatku tetap sadar agar tidak segera membunuh pria yang suka seenak-nya dan pemaksa dihadapanku ini.

Pelayan kembali datang menyajikan makanan.

"Medium steak for you sir" ucap pelayan itu sopan.

"Terima kasih" balas pak Revan seraya tersenyum tipis.

Melihat makanan yang menggugah selera ini, membuatku jadi lapar. Aku mulai memotong daging steak dihadapanku ini dan memasukkannya ke dalam mulut.

Aku hampir saja tersedak kala tak sengaja melihat pak Revan yang juga sedang menatap ke arahku.

Mencoba acuh, aku kembali menyuapkan potongan daging dengan potongan yang besar agar dia tau bahwa aku sama sekali tidak terpengaruh oleh tatapannya.

Walaupun aku berusaha tidak peduli, tetapi orang dihadapanku terus saja melihatku dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuatku tak tahan ingin memaki.

Mr.Teacher Pervert [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang