Bergabung dengan kerumunan orang yang hendak pulang, aku, Tania, dan Arga berjalan bersama menuju gerbang.
Sudah pernah ku katakan bukan? Arga memang tidak pernah bisa diam, ada aja lelucon yang dia lontarkan dan sikap jailnya membuat kami Tertawa. Dan Tania yang galak selalu marah saat Arga mulai melakukan aksi jahilnya. Seperti saat ini Arga beberapa kali menarik rambut Tania, membuat Tania marah dan mengejek Arga. Tentu saja Arga tidak tinggal diam, dia makin usil dan membalas ejekan Tania. Dan berakhirlah mereka saling mengejek. Akrab sekali bukan kedua sahabatku ini?
"Argaaaa! Berhenti menarik-narik rambut gue! Entar rontok! Dasar telor cicak!" protes Tania seraya memukul lengan Arga.
"Biar lo jadi botak hahahahaha!" Arga tertawa terbahak-bahak. Memertawakan ekspresi marah Tania.
Aku mengeleng melihat tingkah konyol mereka.
"Hey emaknya kutu!" ucap Arga sembari menarik pipiku keras.
"Aku bukan emaknya kutu!" aku mencubit perut Arga sebagai balasan. "Lo bisa diam nggak sih Bapaknya semut?"
Bosan menjahili Tania, dia malah usil padaku.
"Berarti gue bapak yang baik dong! Mengajarkan anak-anaknya kerja sama, dan toleransi!" jawabnya. "Semut juga saling menyapa walaupun tidak saling kenal, berarti aku mengajarkan mereka bagaimana bersikap ramah! Nggak kayak kutu bisanya cuma bikin kepala gatel!
"Serah lu deh! Males gue ladenin orang gila"
"pipi lo kok cubby banget sih?" Arga kembali menarik pipiku. Entah kenapa Arga suka sekali melakukannya?
"Arga berhenti! Sakit goblok!"
"Hahahaha jadi merah tuh pipi. Gue suka liatnya!"
Aku mentap Tania dengan wajah yang sedih. Tetapi sahabat lucknut itu malah memalingkan muka menolak untuk menolongku.
"Taniaaaaaaa! Bantuin! Masa lo tega sama gue?" rengekku.
"woy Arga bego lepa-"
"Ara!"
Menoleh ke sumber suara, tak jauh dari kami berdiri tante Nita. Dia berjalan mengahampiri kami dengan tersenyum ramah.
"Tante ngapain ke sini?"
"Tante pengen ketemu kamu. Ayok masuk ke mobil tante! Tante yang anterin kamu pulang. Tante bawa Ara pergi ya?" tanyanya pada Arga dan Tania.
Kedua sahabatku itu mengangguk. Tante Ara membimbingku menuju mobilnya. Aku duduk dibelakang bersama tante Nita.
"Jalan!" titah Tante Nita kepada pak supir.
Hening, tak ada satupun yang bersuara. Aku sesekali melirik Tante Nita. Dia terus tersenyum padaku membuatku merasa aneh.
"Tante kok lewat sini?" tanyaku ketika mobil melaju bukan ke arah rumahku.
"Ada sesuatu yang tertinggal di rumah. Tante ambil dulu barangnya baru tante anter kamu pulang" jawabnya. Aku kembali diam memandangi jalanan.
Akhirnya kami sampai di kediaman Tante Nita. Mobil memasuki gerbang kemudian berhenti di depan rumah.
"Ayo masuk!" pintanya.
Aku menggeleng seraya menjawab, "nggak Tante aku tunggu di sini saja."
"Masuk aja nanti kamu kelaman nunggu di dalem mobil"
Merasa tidak enak menolak permintaan Tante Nita, akhirnya aku keluar. Kemudian berjalan membuntuti Tante Nita masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu terlihat pak Revan duduk di sofa fokus pada laptop di hadapannya.
"Evan! Kamu kenapa di sini? Masuk ke kamar, kamu lagi sakit!"
"Bunda, aku cuma sakit kepala biasa. Nggak usah lebay!" sahut pak Revan tanpa sedikitpun menoleh.
"Ni anak bandel banget. Lagi sakit malah kerja!" dumel Tante Nita.
"Ara duduk di situ ya! Tante akan segera kembali" setelah mengatakan itu, Tante Nita berjalan menaiki tangga.
Aku menatap pak Revan yang juga sedang menatapku. Aku berjalan menuju sofa. Belum sempat aku duduk pak Revan meringis.
"Ish kepala saya sakit. Pijitin dulu kepala saya rasanya mau pecah!" pintanya lalu kembali mengeluh kayak anak kecil.
"Cuma sakit kepala biasa. Nggak usah lebay!" balasku meniru perkataannya tadi.
Setelah aku ngatakan itu. Wajah pak Revan kembali normal.
'Tuhkan cuma pura-pura'
"Saya beneran sakit! Udah dari tadi pagi kepala saya pusing!"
'Nggak nanyak!'
"Coba nih pegang dahi saya!"
Aku meletakkan telapak tanganku di dahi pak Revan. "Agak panas, sedikit" jawabku lantas duduk di hadapan Pak Revan.
Pak Revan berdiri, berjalan ke arahku. Kemudian duduk di sampingku lalu tiba-tiba saja dia berbaring. Kepalanya berada di atas pahaku sementara laptop dia letakkan di atas dadanya lanjut mengerjakan pekerjaannya.
"Pak! Kalau mau tiduran ke kamar aja!"
"Males ke kamar" jawabnya cuek.
"Tapi kepala bapak berat!" kebanyakan dosa lanjutku dalam hati
"Lima menit biarkan seperti ini!" ucapnya.
Aku menghela nafas, mencoba untuk bersabar.
Tak lama kemudian Tante Nita datang. Memandangi kami seraya tersenyum.
"Maaf Ara harus nunggu lebih lama lagi di sini. Tante ada urusan bentar. Evan kalau pekerjaan kamu udah selesai anterin Ara pulang!"
"Tapi Tante-"
Tanpa menunggu jawaban dariku Tante Nita sudah duluan pergi.
Aku melirik pak Revan yang masih fokus bekerja.
"Pak, udah lima menit!" ucapku mengingatkan.
"Lima menit lagi"
"Kok gitu? Pak duduk!"
"Jangan gerak-gerak Ara! Kepala saya pusing! Duduk diam agar pekerjaan saya cepat selesai!"
Kembali menekan rasa kesalku, aku duduk diam menunggumya menyelesaikan pekerjaannya agar secepatnya dia mengantarku pulang.
Lama menunggu, akhirnya pak Revan menutup laptop-nya kemudian dia duduk.
"Udah selesai kan Pak? Sekarang anterin saya pulang Pak!" kataku semangat, sudah nggak sabar mau pulang ke rumah.
Dia diam sejenak lalu menjawab, "siapa bilang saya mau nganterin kamu?"
"Tante Nita yang bilang!" ucapku. Senyumku luntur dan sekarang aku mulai kesal dengannya.
"Emang saya tadi jawab iya?"
'Nggak sih, Pak Revan tadi cuma diem'
"Kalau pak Revan nggak mau nganterin aku pulang naik taxi aja!" jawabku kemudian berjalan ke arah pintu.
Pak Revan dengan cepat mencegatku. Dia sekarang berdiri dihadapanku. Lalu mengkunci pintu entah darimana dia menemukan kunci itu. Kamudian menyeringai menunjukkan kunci di depanku seraya menggerak-gerakkannya.
"Berikan kuncinya saya mau pulang!" aku berusaha menggapai kunci yang yang di angkat tinggi-tinggi oleh pak Revan. Dan aku makin emosi karna manusia tiang listrik ini mengangkat kuncinya membuatku kesulitan.
"Kalau bapak nggak memberikan kuncinya, saya bakalan teriak kalau saya di culik di sini!"
"Teriak saja, nggak bakalan ada yang denger!" ucapnya santai lalu memasukkan kunci itu kedalam sakunya. Seringai miliknya semakin lebar melihat aku yang terdiam pasrah.
Aku menatapnya kesal sementara makhluk di hadapanku ini malah tersenyum yany terlihat begitu menyebalkan
* * *Tbc.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr.Teacher Pervert [Completed]
Teen FictionArabella Pramudhita yang sudah kelas dua belas yang dimana tahun depan dia akan lulus dan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi malah berurusan dengan guru matematika baru disekolahnya. Kehidupan nyaman Arabella harus berakhir setelah...