🍃 Twenty Nine

1K 137 48
                                    

🌸
___________________________

🍁


Twenty Nine


🍁
________________________

Jihan menatap Minho yang kini sibuk menonton TV sambil tiduran di pahanya. Tangan Jihan terulur mengusap rambut hitam itu. Menyugarnya ke belakang, menampilkan jidat sexy Minho. Jihan gemas sendiri dibuatnya. Ia usap-usap jidat mulus itu.

Kadang Jihan heran, di usia Minho yang masih dibilang remaja ini kok bisa dia tidak punya jerawat di jidatnya. Jihan jadi iri.

Dulu saat ia seusia Minho, banyak sekali jerawat yang menghiasi wajahnya dan susah hilang. Ia harus berusaha keras perawatan mempercantik diri. Tapi Minho seperti tidak pernah mengalami masalah itu. Ia terlahir dengan wajah tampan, mulus dan bersih--- seperti Haekal.

Gerakan tangan Jihan terhenti saat otaknya mengingat Haekal.

Dan Minho menyadari itu. Ia menyentuh tangan Jihan di kepalanya.

"Tan, kenapa?"

"Eh?" Jihan mengerjap kaget. "Gak papa."

Minho tadinya ingin kembali menonton acara komedi di TV, tapi raut yang tercetak di wajah Jihan menunjukan bahwa perempuan itu tidak sedang baik-baik saja.

Minho bangun, mendudukan tubuh di samping Jihan lalu menatapnya lembut.

"Mau aku bikinin sesuatu?" tawarnya.

Iya, ini waktunya Jihan. Ini kesempatanmu untuk bicara.

"Coklat panas enak kayanya, Ho."

Minho tersenyum. Seingatnya selain americano, coklat panas adalah minuman favorite Jihan.

"Bentar ya, aku bikinin dulu."

Minho bangkit, lalu berjalan menuju dapur. Jihan yang melihatnya kembali menghela nafas berat. Tiba-tiba saja ia gugup.

Teringat ucapan Elin saat mereka bertemu dua hari yang lalu.

"Ji, jangan kaya gini. Aku tahu kamu sering terluka. Tapi Minho bukan obat yang tepat buat kamu!"

Jihan terdiam. Ia tahu itu.

"Hubungan kalian itu salah. Kalau kaya gini apa bedanya kamu sama mereka hah?"

"Aku tahu, Lin..."

"Jangan buat tante Mina kecewa sama kamu."

Jihan mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Tapi aku udah terbiasa dengan kehadiran Minho---"

"Kalau gitu kamu juga harus terbiasa ngelupain dia."

"Ini semua demi kebaikan kalian berdua, Ji."

Elin menggenggam tangannya lembut. "Ada aku, ada tante Mina. Kalau emang gak bisa cerita tentang semua luka kamu ke tante Mina, kamu masih bisa cerita ke aku---" Elin menghela nafas berat. Emosinya terguncang melihat mata Jihan yang berkaca-kaca.

"Maafin aku, Ji. Maaf belum bisa jadi sahabat yang baik buat kamu."

"Enggak!" Jihan segera menggeleng cepat. "Kamu sahabat terbaik aku. Kamu satu-satunya sahabat yang aku punya, Lin. Aku minta maaf udah egois dengan menjadikan Minho sebagai obat lukaku."

Jihan terisak membuat Elin bergeser lalu memeluknya. "Kamu bisa, Ji. Kamu bisa tanpa Minho."

Nafas Elin terasa sesak. Mendengar Jihan yang semakin terisak membuatnya mengingat sang anak. Membayangkan betapa hancur perasaan Minho jika nanti Jihan meninggalkannya.

I LOVE YOU, TANTE  [Minsung Lokal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang