🍃 Fourty Four

1.1K 139 29
                                    

🌸
___________________________

🍁


Fourty Four


🍁
________________________


Jihan meregangkan otot-otot lengannya. Setelah membawa lemburan ke rumah, ia langsung mengerjakan berkas-berkas tersebut hingga larut malam.

Menguap lebar, ia berjalan menuju kamar mandi sekedar untuk cuci muka dan sikat gigi sebelum tidur.

Jihan merangkak naik ke atas kasur dengan mata setengah tertutup. Tubuhnya terasa lelah dan matanya terasa berat. Ia bahkan melupakan keberadaan ponsel yang tak ia sentuh sejak tiga jam yang lalu, yang Jihan butuhkan saat ini hanya tidur.




Jihan menggeliat pelan, mengerjapkan mata perlahan saat menyadari sinar matahari sudah menerobos lewat celah gordeng. Tatapannya beralih pada kalender di samping tempat tidur. Ini sudah hampir tiga tahun berlalu tapi Minho belum juga pulang.

Apa lelaki itu melupakannya? Melupakan janjinya untuk kembali pada Jihan?

"Jangan-jangan dia udah punya pacar lagi di Sydney? Dia 'kan ganteng pasti banyak yang naksir." Ia mengacak rambut panjangnya hingga kini berantakan.

"Terus aku di sini ngapain? Nungguin dia gituh? Cih! Dia bahkan gak ngabarin aku sejak setahun lalu." Tangan Jihan terulur mengambil ponsel, menyalakan layar berharap mendapat notifikasi pesan dari Minho. Namun nihil, manusia satu itu bagai hilang ditelan bumi.

Chat Jihan dari setahun yang lalu saja belum juga dibaca. Apa mungkin ponsel Minho hilang dan ia melupakan nomor Jihan? Tapi 'kan Minho bisa memintanya ke pada Elin.

Saking frustasinya, Jihan sempat berpikir untuk menanyakan kabar Minho ke pada sang sahabat, namun ia terlalu malu.

Lagi pula, Elin tak tahu menahu tentang hubungan mereka. Saat itu Jihan dan Minho hanya bicara berdua dan sepakat merahasiakannya selama Minho di Sydney. Mereka baru akan membeberkan hubungan itu jika Minho sudah kembali, itupun jika Minho belum menemukan pengganti Jihan di sana.

Sedangkan Jihan, ia tidak mungkin bisa menemukan pengganti Minho. Lelaki itu bagaikan obat untuknya. Tak pernah sedikitpun terbersit pikiran untuk mencari penggantinya.

Salahnya juga sih, kenapa tidak jujur tentang perasaannya. Kenapa dulu malah menggantungkan perasaan Minho dan membuat mereka saling menunggu tanpa kepastian dengan dalih 'nanti juga kalau jodoh pasti ketemu.'

Cih, Jihan ingin mencibir kalimat itu sekarang. Karena nyatanya, cinta itu harus diperjuangkan bukan malah berdiam diri dan pasrah pada takdir.

"Terserah bodo amat aku gak akan nungguin dia lagi!" Jihan beranjak dari kasur, mengambil handuk lalu berjalan menuju kamar mandi sambil terus menggerutu.

"Sia-sia nungguin dia! Aku padahal udah nolak banyak cowok demi dia,tapi apa? Nyebelin! Dasar Minho nyebelin!" Lalu terdengar debuman keras saat pintu kamar mandi ditutup dengan kasar.




Jihan melirik jam tangannya. Sepuluh menit lagi jam istirahat. Ia meregangkan persendian yang terasa kaku karena terlalu banyak duduk.

Tok tok tok!

Pintu ruangan diketuk.

"Masuk!" perintahnya.

Pintu terbuka lalu seseorang tersenyum di balik pintu.

"Hay ..." sapa orang itu. Jihan buru-buru berdiri lalu membungkuk sopan.

I LOVE YOU, TANTE  [Minsung Lokal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang