╰☆◈ delapan ◈☆╮

294 30 1
                                    


Lagi dan lagi kelas Naya hari ini jam kosong. Entahlah sepertinya guru-guru ada masalah dengan kelas itu. Gimana ya, bisa dibilang anak-anak kelasnya bar-bar.

Naya menggunakan kesempatan ini untuk berpindah ke tempat duduk Alden. Sudah biasa di kelas mereka selalu bertukar tempat duduk ketika ada keperluan.

“Al, lo masih sering nongkrong sama kak Zean kan?” tanya Naya.

Alden yang semula bermain ponsel lantas menoleh kearah Naya. Ia menghentikan aktivitasnya untuk menanggapi pertanyaan dari cewek itu.

“Iya. Kenapa?”

“Gue boleh minta tolong ga?” pinta Naya sambil mengedipkan matanya beberapa kali.

“Minta tolong apaan? Jangan yang bikin repot.”

“Tolong ambilin topi di rumahnya kak Zean dong!”

Naya mengecilkan suaranya di akhir kalimat. Ia ingin pembicaraan ini tidak diketahui oleh siapapun. Terutama teman-teman satu kelasnya.

“Topi apaan?”

“Udah lo bilang aja ngambil topi yang disuruh Naya, ntar pasti dikasih. Topi upacara gue ilang, makanya gue mau minjem punya kak Zean.”

Alden menganggukan kepalanya mengerti. Namun, setelah itu ia memicingkan matanya kearah Naya penuh selidik.

“Deket sama Zean ya?!” tuding Alden.

“Engga. Cuma mau minjem topi.”

Btw, gue loh yang share nomor lo ke dia,” ungkap Alden.

Naya sudah tidak kaget lagi dengan fakta itu. Zean juga mengatakan waktu awal mereka chattingan bahwa dirinya bisa mendapatkan nomor Naya dari Alden. Mereka teman satu tongkrongan kalau ingin tahu.

Awalnya Naya bingung, untuk apa Zean meminta nomor teleponnya dari Alden. Secara, Naya itu tidak terkenal-terkenal banget di kalangan kakak kelas cowok. Paling mentok ya adik kelas cewek karena sifat bobroknya.

“Dia minta ke lo gimana?” tanya Naya kepo.

“Dia nanya, temen gue yang cewek itu namanya siapa, trus gue bilang namanya Naya. Eh, dia minta nomor lo, yaudah gue kasih lah.”

“Emang dia kenal gue ya? Perasaan selama ini kita ga pernah saling sapa,” bingung Naya.

Selama menjadi adik dan kakak kelas, baik Naya maupun Zean memang tidak pernah bertukar sapa. Jangankan bertukar sapa, saling simpang saja tak melihat mata satu sama lain. Karena memang keduanya tidak seakrab itu.

“PDKT-an ya lo berdua?” goda Alden.

“Apasih, cuma sebatas itu aja ya. Ga usah ngira aneh-aneh.”

“Lah?! Dia minta nomor lo, percaya sama gue dia suka sama lo.”

Naya merotasikan bola matanya malas. Meminta nomor telepon tidak menjamin seseorang suka. Bisa jadi karena Zean gabut dan ingin menambah daftar asrama putri di ponselnya.

Siapa yang tahu?!

“Udah mantanan sama kak Alin ya? Duh, kirain mereka masih pacaran,” ungkap Naya. “Kalo dia beneran suka sama gue, apa kata orang-orang?! Masa iya seleranya menurun, dari kak Alin jadi ke gue.”

Sifat insecure Naya mulai beraksi lagi sekarang. Entahlah, soal fisik ia selalu merasa tidak pantas.

“Ga usah mikirin apa kata orang, kalo Zean emang milihnya lo, mereka bisa apa?!”

Perkataan Alden ada benarnya. Pantas saja banyak dedek gemes alias adik kelas yang mengidolakannya, kata-katanya saja begini.

“Duh, jadi ge-er nih gue.”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang