╰☆◈ empat puluh satu ◈☆╮

63 8 2
                                    

Naya menghitung orang yang sudah berkumpul di basecamp.

lengkap.

Sebenarnya kurang Jenar, namun Naya merasa itu sudah cukup.

“Lo pada udah tau kan kita kumpul di sini buat apa?” tanya Naya.

“Ga tau,” jawab Rama dan Arga secara bersamaan. Sebenarnya mereka berdua sudah tahu, namun mereka memilih untuk menyulut emosi Naya sekarang.

Dan benar saja, Naya sudah menghembuskan nafasnya kasar. Ia benci setiap kali anak-anak mempermainkannya. Mereka senang melihat dirinya ngamuk-ngamuk.

“Lanjut aja, Nay, gue yakin mereka udah tau kok,” kata Cila. Ia juga sedang malas berbasa-basi sekarang ini. Dirinya lelah setelah seharian menghabiskan waktu di sekolah, belum lagi tugas IPA-nya belum selesai dan harus dikumpulkan lusa.

“Gue udah tau sampe kalian mau ada rencana pura-pura culik Jenar dan selamatin dia biar nyokapnya luluh, terus agenda kita hari ini bahas apa?” tanya Yuda. Ia sudah diberitahu oleh Lian tadi selama perjalanan.

“Hah?! Lo pada sebenernya mau bikin rencana apa sih?!” Arga kebingungan. Ia sendiri masih tidak paham kalau Jenar akan pindah. Namanya juga Arga yang selalu masa bodoh dengan segalanya.

Naya terpaksa harus menjelaskan lagi dari awal hingga tujuan yang akan mereka laksanakan.

Sebenarnya mereka juga belum yakin; tapi, alangkah lebih baiknya mereka memang harus mendiskusikan masalah ini bersama. Takutnya, jika mereka bertindak lebih jauh mereka dianggap melakukan kesalahan besar.

Bersahabat bersepuluh, seharusnya juga didiskusikan bersepuluh juga; bukan hanya sebagian.

Itu prinsip mereka sejak awal.

“Yakin bakal berhasil? Gue takut kalau semisal nyokapnya Jenar tau yang sebenernya dia malah ngira kita bawa pengaruh buruk buat Jenar,” ungkap Rama.

“Ya terus gimana, dong?! Kasih usul kek cara supaya Jenar ga jadi disuruh pindah. Sumpah, lo pada apa ga ngerasa kehilangan nanti?!” Lian mengungkapkan kegelisahannya.

“Kalau emang nyokapnya bikin keputusan begitu, apa boleh buat?! Kita yang cuma orang luar tetep ga bisa ikut campur. Mereka tetep punya kepentingan sendiri.” Denis kurang menyetujui usulan teman-temannya. “Kita ‘kan juga ga tau gimana kondisi keluarganya Jenar di sana, gimana nyokapnya Jenar pas di Bali dan apa alasan mereka pindah ——kan kita ga ngerti. Gue sih mencoba buat berfikir dewasa aja sih.”

Cila mengangguk, “Bener juga kata lo, Nis. Kehidupan orang dewasa itu jauh lebih sulit. Gue juga ga bisa bayangin gimana pusingnya nyokapnya Jenar kalau semisal kita ikut-ikutan nolak Jenar buat pindah.”

Mereka mendadak terdiam. Mereka hanyalah sebatas remaja yang belum tahu apa-apa tentang kehidupan. Yang ada di fikiran mereka adalah bagaimana caranya supaya mereka tetap bisa bersama.

“Jadi banyak yang nolak nih?” tawar Naya.

“Ga nolak juga sih, tapi kita ini juga udah bukan anak-anak lagi, ga semua hal harus sejalan sama kemauan kita,” tambah Yuda. “Kayaknya kita ga usah aneh-aneh, deh.”

“Yaudah sih kalo semisal kalian ga mau, kita batalin aja,” telak Naya. Ada sedikit rasa kecewa di hatinya. Setidaknya ia ingin teman-teman lainnya juga ikut memikirkan bagaimana cara menahan Jenar supaya tetap di sini.

“Emang Jenar berangkat kapan?” tanya Nathan.

“Ga tau.”

“Gimana kalo besok kita bareng-bareng ke rumah Jenar? Ya kumpul kaya biasa aja, tiung-itung perpisahan juga kalo semisal nanti Jenar berangkat tiba-tiba,” kata Lian mengusulkan. Ia bisa melihat bagaimana kecewanya Naya.

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang