╰☆◈ tiga puluh tujuh ◈☆╮

57 10 0
                                    


Jenar menatap figur mamanya yang saat ini sedang berada di depan cermin rias miliknya. Mendengar kepulangannya yang tiba-tiba membuat Jenar merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Mama libur panjang, kok tumben pulang?” tanya Jenar.

Bukan maksudnya ia tidak mengharapkan kedatangan mamanya. Namun, Jenar merasa aneh saja; kedua orang tuanya tidak akan pulang jika bukan karena ada urusan atau hari besar.

Terlebih lagi yang pulang hanya mamanya, sedang papanya masih berada di sana.

“Mama mau omongin sesuatu sama kamu.”

“Soal apa, Ma?”

Mama Jenar berbalik badan. Wanita paruh baya itu duduk di kasur dekat Jenar.

Ia baru menyadari bahwa anak perempuan satu-satunya itu sudah besar sekarang. Sudah berapa tahun dirinya tak mengikuti perkembangan anak perempuannya?

Entah, ia sudah lupa.

Wanita itu mengelus kepala Jenar. Ia benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa membimbing anaknya dengan benar. Ia terlalu mementingkan ego-nya dengan bekerja. Ia menelantarkan Jenar selama ini —membiarkan anaknya berjuang sendiri bahkan sampai harus berjualan sana-sini. Padahal, ia selalu memberikan jatah uang saku setiap bulan.

“Mama udah lama banget ya ga ada momen berdua gini sama kamu.” Wanita itu menatap wajah Jenar penuh kasih. “Mama terlalu sibuk kerja sampai ga bisa ngurusin kamu. Kamu udah besar ternyata, Nar.”

“Maafin mama karena belum bisa jadi mama yang baik buat kamu. Maafin mama karena ga bisa nemenin Jenar di masa-masa sulit Jenar. Mama sadar, Jenar pasti kesusahan ya, apalagi masih harus urusin nenek?”

Jenar sama sekali tak menyimpan dendam; baik kepada mama ataupun papanya. Namun, ia selalu merasa kasihan kepada neneknya. Tak ada yang mengurus dan masih harus dibebani olehnya.

“Ga papa, Jenar udah terbiasa kok, Ma.”

Jawaban itu sukses membuat tangisan mama Jenar tumpah. “Nar, mama minta maaf soal semuanya.”

Jenar menarik tubuh mamanya ke dekapannya. Ia tahu, mamanya mungkin banyak menyimpan perasaan bersalah. Meskipun Jenar tahu bahwa dirinya tak mendapat kasih sayang penuh, tapi Jenar berusaha untuk tidak menyalahkan keadaan.

“Mama ga salah kok. Udah ya ma, ga usah nangis,” ujar Jenar menenangkan.

“Nar, ikut mama ke Bali yuk!” ajaknya.

Tubuh Jenar seketika menegang. Otaknya masih berusaha memproses apa yang diucapkan oleh mamanya. Ia mencoba untuk memercayai apa yang didengarnya.

Ia ingin meyakinkan bahwa telinganya sedang tidak ada gangguan.

“Ma?!”

“Mama pengen fokus sepenuhnya ngurus kamu, Nar. Mama pengen nebus semua kesalahan mama. Plis ya, mau ikut mama ke Bali.”

Jenar melihat bola mata mamanya yang penuh pinta. Ia menghargai keputusan bahwa mamanya ingin mengurus Jenar penuh. Namun, Jenar tak bisa setuju dengan pindah ke Bali.

“Terus nenek?!”

“Kita ajak nenek juga, Nar.”

Seketika Jenar seperti sedang bermimpi. Alam bawah sadarnya blank seketika. Itu artiny; ia harus meninggalkan teman-temannya?

Sungguh, Jenar tak mau.

“Kenapa ga mama yang tetep di sini aja? Kita tinggal bareng sama nenek. Kenapa ga mama aja yang keluar dari kerjaan?! Toh, kalaupun mama keluar kita masih bisa hidup kok, Ma. Kita bangun bisnis sendiri di sini.”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang