╰☆◈ empat puluh ◈☆╮

71 12 0
                                    

Sampai di rumah Naya langsung mempersiapkan berbagai macam camilan juga minuman di dalam kulkas mini yang berada di kamarnya. Ia sengaja mempersiapkan semuanya karena ia tahu bagaimana isi otak teman-temannya.

Naya juga sudah mempersiapkan beberapa bantal tambahan untuk menemani mereka berbincang nanti. Memang, Naya adalah orang yang paling niat dalam hal seperti ini.

Satu-persatu temannya mulai datang; mulai dari Lian yang datang paling awal sambil membawa buku tugasnya. Biasa, ada pekerjaan rumah.

Sebenarnya mereka berdua satu kelas, tapi Naya lebih santai. Ia bisa mengerjakannya besok pagi bersama dengan Alden. Selama ia mendapatkan contekan mah tidak masalah. Ia ahli menulis cepat, apalagi kalau dalam kondisi genting.

“Yang belum dateng siapa sih?!” tanya Cila. Si orang yang paling anti dalam hal menunggu. Padahal, dirinya sudah datang secara terlambat.

Tidak ditentukan pasti jam berapa mereka harus berkumpul. Naya hanya mengatakan ‘sehabis maghrib’. Itu bisa saja nanti pukul sepuluh, karena konteksnya sama; sehabis maghrib.

“Bella belum dateng. Pesan gue juga ga dibales, cuma diread doang,” jawab Naya.

“Anjir! Seleb bener itu orang,” tambah Cila.

“Alah, palingan juga lagi kencan sama si Nathan,” kata Lian.

Naya berdehem, “Ehem! Sensi amat.”

Lian merotasikan bola matanya malas. Ia paling benci kalau sudah diolok-olok lagi seperti ini.

Jadi, sebenarnya antara Nathan dan Lian dulunya itu tidak ada apa-apa. Mereka juga tidak mantanan. Hanya karena salah paham hingga keduanya sempat diolok-olok dulu.

Perihal Nathan yang mengantarkan Lian balik dari sekolah dan ada yang mergokin. Udah gitu aja jadinya mereka diolok-olok berpacaran; padahal engga. Memang semudah itu permasalahan anak kecil.

Tapi sekarang beda lagi. Nathan sudah ada Bella.

tok tok tok.

Mereka bertiga menoleh kearah pintu dimana Bella datang dengan tergesa-gesa. Ia mengatur nafasnya yang hampir saja copot.

“Gue telat banget, ya?” tanya Bella lalu ikut bergabung; duduk melingkar diatas kasur Naya.

Cila melihat jam, “Engga sih. Kan perjanjiannya sehabis maghrib, ini cuma mau isya’ doang.”

“Mau isya’ itu juga masih sehabis maghrib kali,” tukas Naya.

Bella menggaruk tengkuknya bingung. Ia jadi merasa tak enak karena jadi ditungguin teman-temannya. Ini juga gara-gara tadi diajak ke rumah Nathan. Coba kalau tidak, pasti tidak seperti ini ceritanya.

“Sorry ya kalian jadi nunggu lama. Gue tadi masih ada keperluan soalnya.”

“Iya santai aja, toh kita kan orang-orang yang ga ada kerjaan.”

Jawaban Lian sukses membuat Bella jadi semakin merasa tak enak. Jawabannya memang biasa saja, namun terlihat sekali kalau itu ada maksud menyindir dirinya.

“Oke! Stop gais bahas soal telatnya. Gue ada info penting,” ucap Naya menghentikan perdebatan teman-temannya. “Lo pada udah tau kalo Jenar bakal pindah?”

“HAH?!” kaget mereka bersamaan.

“Sumpah, demi apa, Nay?!” tanya Lian tak percaya.

“Lo bohong ‘kan?!” Bella juga sama tak percayanya.

Naya menggeleng. “Gue ga ada bohong sama sekali. Tadi aja gue baru balik dari rumahnya Jenar. Niatnya sih mau bujuk mamanya Jenar biar ga pindah, eh gagal.”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang