╰☆◈ empat puluh enam ◈☆╮

53 5 0
                                    

Naya sibuk memotret beberapa pemandangan yang sekiranya bisa ia share ke status. Ia tak menghiraukan keberadaan Arga yang mulai mendekat kearahnya.

Cowok itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Ia masih mengamati Naya dan segala kesibukannya bersama ponsel.

“Kalo mau gabung, gabung aja! Ga usah sok-sokan cool gitu deh!” sindir Naya. Ia sadar akan keberadaan Arga, namun ia memilih untuk tetap fokus dengan kegiatan awalnya. 

“Lo kenapa sih, Nay?!”

“Gue kenapa coba?!”

Arga hanya geleng-geleng kepala. Ia berdiri di samping Naya dan langsung merebut ponsel cewek itu. Ia memasukkannya ke saku celana miliknya —membuat si empunya merengut kesal.

“Balikin, Ar!”

“Engga! Gue pengen nikmatin pagi bareng lo.”

“Yaudah, nikmatin aja! Gue temenin sampe mampus, tapi balikin dulu hp gue.”

Arga tetap menggeleng. “Ga boleh. Kalo hp-nya ada sama lo, yang ada lo bakal fokus ke hp doang, bukan ke gue.”

Naya merotasikan bola matanya malas. Apa banget deh omongan Arga. Berasa dia yang paling penting.

“Terserah lo!”

Arga terkekeh melihat Naya yang sudah dalam posisi marah kepadanya. Entah, membuat cewek itu emosi seperti menjadi kebahagiaan sendiri bagi Arga.

“Ini gue balikin! Mulut lo bisa dikuncir tuh!” Arga pada akhirnya menyerahkan ponsel Naya. Wajah cemberut Naya membuat Arga merasa lucu.

Cewek itu merebut ponselnya dari tangan Arga dengan cepat.

“Kita jadi makin jauh ga sih, Nay?” tanya Arga meminta pendapat. Ia merasa saja kalau memang mereka tidak sedekat dulu lagi.

“Engga tuh, ini deket; ga ada satu meter.”

selalu seperti itu.

Naya adalah salah satu manusia yang paling anti membahas masalah serius; apalagi menyangkut perasaan. Menurutnya, itu memusingkan. Mungkin, ini menjadi alasan juga mengapa sampai sekarang Naya tidak pernah memiliki pacar.

“Gara-gara ucapan gue waktu itu ya, Nay?!”

Naya mengernyit, “Ucapan lo yang mana?!” bingungnya.

“Yang bilang kalo; gue suka sama lo.”

Naya terdiam seribu bahasa. Ia pikir waktu itu Arga mengucapkannya hanya bercanda saja —tidak benar-benar mengindahkan pernyataannya. Namun, Naya tahu bahwa sekali Arga berbicara artinya ‘iya’.

“Ar! Lo beneran suka sama gue?”

“Kapan gue pernah bohong sama lo sih, Nay?!”

“Tapi, Ar, kita kan sahabatan.”

“Ga ada yang aneh dari dua orang sahabatan saling suka, Nay. Kalaupun iya; itu lo. Lo udah berapa kali sih, Nay, mengabaikan orang-orang yang suka sama lo cuma gara-gara pemikiran lo yang kurang jelas itu.”

Ini yang sedikit Naya tak suka dari Arga. Ia tidak suka dengan pemikiran Arga yang cenderung meremehkan pemikiran orang lain. Padahal, semua orang memiliki porsinya masing-masing.

“Pemikiran gue jelas, Ar, gue ga mau terlibat perasaan sama cowok karena gue ga mau mereka menghambat mimpi-mimpi gue. Gue pengen terhindar dari sakit hati. Cowok dan segala janji-janji manisnya itu bohong.”

“Oke, mungkin lo bakalan berfikir; ‘darimana gue tahu, padahal gue ga pernah menjalin hubungan sama cowok’. Dari hubungan lo sama Kinan kemarin, Ar. Itu yang bikin gue mikir; cowok yang udah punya pasangan aja masih bisa suka sama cewek lain. Ada kemungkinan ‘kan kalo semisal lo jalin hubungan sama gue, lo juga suka sama cewek lain?!”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang