“Nayaa!” panggil Bella.
Naya yang baru saja selesai keramas langsung keluar dari kamar mandi. Ia menemukan Bella sudah berada di dalam kamarnya dengan kondisi mata yang sedikit membesar.
Naya kaget.
“Lo kenapa, Bel?!” tanyanya khawatir. Naya memegang pundak Bella. “Cerita sama gue, coba!”
“Gue putus sama Nathan,” ungkapnya.
Naya memiringkan kepalanya —berusaha mencerna apa yang barusan ia dengar. Mereka putus?! Naya tak percaya dengan hal itu. Sepertinya kemarin mereka masih baik-baik saja.
“Ada masalah apa emangnya?”
“Gue pernah bilang sama lo kan, Nay, waktu itu soal bundanya Nathan?” tanya Bella yang diangguki oleh Naya. “Gue beneran ga sanggup, makanya gue minta putus dari Nathan.”
Astaga. Cobaan orang yang menjalin hubungan memang ada-ada saja ya. Kalau ga orang ketiga, bosen, ya pasti orang tuanya.
“Tapi bukannya lo baik-baik aja ya sama kakaknya Nathan?!” tanya Naya memastikan —berdasarkan apa yang ia dengar.
“Kalo sama kakaknya emang biasa aja, Nay, tapi bundanya yang jadi masalah. Sebelum ini gue udah beberapa kali ketemu sama bundanya Nathan. Terakhir kali, dia bilang; tinggalin aja Nathan kalo gue masih suka marah-marah. Padahal, lo tau sendiri kan, Nay, gimana mood gue?!”
Naya paham. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Bella. Sebab, dirinya sendiri juga begitu —sulit sekali mengendalikan mood. Apalagi kalau sedang dalam kondisi lelah.
Meskipun begitu, Naya tak sepenuhnya membenarkan ucapan Bella. Walaupun ia bersahabat kental dengan cewek itu, tetap saja Naya akan bersikap adil; tidak membela salah satunya.
“Bel, bukannya lo bisa bahas masalah ini dikit-dikit sama Nathan? Maksud gue, lo ga perlu gegabah mutusin dia. Kalo gue jadi Nathan sih pasti bingung. Secara, dia ga tau apa-apa, terus tiba-tiba lo minta putus,” jelas Naya.
Ia mencoba untuk memaparkan supaya cewek itu tidak main ambil keputusan sendiri. Kalau semisal nanti menyesal, Naya juga yang jadi pelarian curhatnya.
“Ya terus gue kudu gimana, Nay?!”
Naya pusing tujuh keliling. Setiap curhat pasti pertanyaan ‘gue harus gimana, Nay’ tidak pernah luput. Mereka suka menjalin hubungan, namun selalu melibatkan orang lain untuk menyelesaikannya.
“Kenapa ga kalian sama-sama memperbaiki. Bicarain baik-baik, Nathan nyoba buat ngomong sama bundanya, terus lo juga sama; berusaha biar ga mood swing terus. Emang susah sih, Bel, tapi nyoba deh belajar dikit-dikit. Enak kok pasti,” saran Naya.
“Tapi, gue terlanjur putus sama Nathan, Nay.”
“Bukannya Nathan bucin banget sama lo. Kayaknya abis ini dia masih bujuk-bujuk lo deh buat ngajak balikan. Secara ‘kan selama ini dia yang pengen banget pacarin lo, sampai-sampai saingan sama Yuda tuh.”
Bella ini ibaratnya —primadonanya Kepyoh Squad.
“Jangan bahas itu lagi!”
Naya heran dengan Bella; cewek itu selalu tak mau kalau diungkit bagaimana persaingan Yuda dan Nathan untuk mendapatkannya. Namun, di sisi lain Bella juga yang memancing persaingan diantara keduanya.
“Terus abis ini rencana lo mau gimana?” tanya Naya.
Bella menggeleng, “Gue ga tau, mungkin ikut-ikutan lo jomblo kali.”
“Astagfirullah, Bellaa!” Naya mengusap wajahnya kasar. “Semesta ngasih lo pacar perhatian kaya Nathan, tapi lo malah milih buat sendirian. Goblok lo!”
KAMU SEDANG MEMBACA
relationshit
Teen Fiction[ ft. 00 line ] hubungan kita sulit untuk dijelaskan, karena bukan sekedar berteman. © bluezennie_, 2O2O