╰☆◈ dua ◈☆╮

440 55 0
                                    


Semuanya sudah berkumpul. Roti yang dibawa oleh Naya juga sudah berkurang setengah. Pelakunya siapa lagi jika bukan Rama dan Denis. Dengan ditambah sedikit pertengkaran bersama Naya, sebab cewek itu tidak mau mendapat jatah roti sedikit.

“Yud, gue cantik ga?” tanya Bella.

Yuda meneliti wajah Bella sekilas, lalu menggeleng. “Ga. Lo jelek!”

“Mulut lo pedes.”

“Emang udah pernah ngicip mulutnya Yuda, Bell?” sindir Arga.

“Kebiasaan deh, Ar. Lo kalo ada yang ngomongin masalah bibir, bawaannya icip mulu,” ucap Naya.

“Biasalah, Nay, Arga kan sekarang udah ga pernah lagi ngicip bibir pacarnya,” kata Nathan.

Mulut para batangan di Kepyoh Squad memang tidak bisa dikontrol. Ngalir aja sesukanya, semulusnya. Yang masalahnya, kadang sering berbau, gitu deh.

“Masih sore udah molor, ga bagus buat kesehatan. Bikin cepet mati!” Lian menegur Cila yang sudah tiduran di pangkuannya.

Bagi Cila, everytime everywhere pokoknya sleep. Entah itu lagi ngumpul bareng atau pas pelajaran, harus ada satu menit saja waktu untuk tidur. Definisi time is sleep, not time is money.

“Mati itu udah takdir dari Allah, semua manusia emang nantinya bakal mati,” balas Cila.

“Maksud lo, lo mau mempercepat waktu kematian lo ya?!” kata Denis.

“Jangan bahas mati dong, ngeri sendiri gue,” sergah Naya.

“Soalnya dosa lo bejibun, belum lo cicil satupun, makanya lo takut mati.”

Ucapan Yuda memang yang paling pedas, paling ngejleb, paling membuat sadar, dan anehnya paling benar. Bibir tipis milik cowok itu memang ditakdirkan untuk menyuruh seseorang sadar.

Tapi, meskipun mulut Yuda begitu, ia seperti menjadi tetua diantara mereka bersepuluh. Sebab, ia yang paling tua, kata-katanya pun sudah seperti seorang dukun yang terkadang langsung dituruti. Kalau memberikan wejangan, beuh mantap!

“Yuda kalo ngomong serem,” kata Jenar bergidik.

“Ketika Bapak bersabda,” ujar Denis hiperbola.

“Yang harusnya jadi Bapak itu gue, nama gue Rama. Rama itu artinya sama kayak bapak, ga paham lo semua.”

“Gue, jadi anak lo? Ogah banget, gue ga mau jadi keturunan malika,” tolak Naya mentah-mentah. “Kulit gue putih, wlee.”

Rama terima saja dikata malika, kedelai hitam, atau si pantat panci. Ini kulit hasil dari perbuatan ayah dan ibunya. Sudah semestinya ia mensyukuri. Toh, berkulit kecoklatan tetap membuatnya ganteng sejak dini.

Tapi, kulit eksotis milik Rama seringkali dijadikan bahan bercandaan. Kurang laknat apa teman-temannya ini.

“Baru kusadari, ternyata Naya kalo ngomong nembus sampe ubun-ubun. Mulai tercium bau murid seorang Yuda Batara Aji,” kata Nathan sambil mengembang-kempiskan hidungnya.

“Aku bocahmu, Yud!” tutur Naya sambil bergaya swag.

✨✨✨

Tepat sebelum adzan maghrib, sepuluh orang yang semula berkumpul membubarkan diri untuk pulang ke rumah masing-masing. Sebab, diantara mereka belum ada yang mandi. Apalagi Naya yang masih mengenakan seragam. Padahal, esoknya seragam itu masih digunakan.

“Belum balik, Nat?” tanya Bella kepada Nathan yang masih duduk sambil melihat ponsel.

“Bentar lagi, masih ngurus sesuatu.”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang