╰☆◈ dua puluh empat ◈☆╮

107 19 2
                                    

Cila turun dari mobil dengan ragu-ragu. Ia jadi ingin balik ke rumah sekarang juga. Rasanya seperti; menyesali keputusannya telah menyetujui ajakan Rama.

Dirinya menjadi tidak pede berada di keramaian dengan dandanan seperti ini. Ini bukan Cila yang biasanya.

“Balik aja lah, Ram. Gue batalin ya perjanjian kita,” ujar Cila tiba-tiba saat Rama sudah menutup pintu mobil dan siap menggandengnya untuk masuk.

“Loh?! Ga bisa gitu dong, Cil. Lo udah setuju, jadi kita main sampai akhir nanti.”

Cila merutuki kebodohannya sendiri. Lagipula, ia kenapa sok-sokan sekali nyari kegiatan saat gabut. Jadi begini kan akhirnya?! Kalau sudah kejadian, baru menyesal.

“Ish, yaudah ayo!”

Rama menggandeng tangan Cila untuk masuk ke dalam cafe yang sudah menjadi tempat perjanjian sebelumnya. Dalam hati Rama juga berharap-harap cemas. Ia takut kalau nanti Cila membuatnya malu.

Bisa jatuh image-nya dimata sang mantan.

Padahal, tanpa disembunyikan pun semua orang sudah tahu bagaimana seorang Rama. Jadi, ingin ditutupi dengan image berkelas pun tetap saja jatuhnya bikin lawak.

“Heh! Ntar makannya jangan yang pake sumpit ya, gue ga bisa,” ungkap Cila.

Rama membuka pintu cafe, “Ya elah, ngajak lo ga guna bener, Cil.”

“Ih, seriusan gue ga bisa makan pake sumpit. Jadi, sebisa mungkin jangan pesen yang kaya gitu ya? Kan kalo gue ga bisa yang malu lo juga.”

“Iya deh terserah lo. Gue juga ga bisa soalnya.” Rama menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan mantannya yang ‘katanya’ sudah duduk menunggu bersama tiga orang lainnya.

Seseorang dari meja pojok melambaikan tangannya kearah Rama. Itu dia yang ia cari.

Dengan segera Rama menarik tangan Cila untuk mengikutinya pergi ke meja yang berada di pojok. Cila yang tidak siap dengan hal itu hanya bisa menurut saja.

Toh, hari ini ia bawahannya Rama alias orang bayaran cowok itu.

“Hai, Nin,” sapa Rama kepada mantannya —Nindi. Ia duduk di sana bersama pacar barunya, dan sepasang kekasih lagi yang Rama ketahui teman Nindi juga.

“Hello, Ram, susah ga nyarinya?” tanya Nindi sebagai bentuk basa-basi.

Rama tertawa, “Gampang buat gue mah. Oh iya, kenalin dia Cila.”

Cowok itu membawa tubuh Cila agak maju untuk bersalaman dengan Nindi. Cila hanya membungkukkan badan sambil tersenyum, setelahnya ia melanjutkan dengan bersalaman.

Agak canggung juga rupanya.

Cila lumayan khawatir karena Nindi memandangnya curiga. Mungkin, cewek itu merasa familiar dengan wajah Cila. Sebab, keduanya pernah bertemu beberapa kali.

“Muka lo kaya ga asing ya?”

gotcha.

“Maksud lo?!” Cila pura-pura tidak mengerti.

“Kita pernah ketemu ga sih sebenernya?” tanya Nindi sambil mengingat-ingat; takut kalau dirinya salah orang.

“Ga tau ya, mungkin lo pernah liat gue.”

“Anaknya emang suka nongol dimana-mana, lo jangan heran,” tambah Rama.

Refleks, Cila langsung menyikut perut Rana yang membuatnya mengaduh sakit. Tidak keras, tapi cukup jelas.

“Duduk, duduk! Masa ngobrolnya sambil berdiri sih,” suruh pacar Nindi.

Pada akhirnya Rama dan Cila di tempat yang sudah disediakan untuk mereka berdua.

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang