╰☆◈ empat puluh tiga ◈☆╮

57 8 1
                                    

“Gue laper banget, sumpah! Ada warung makan buka ga sih?!” keluh Cila. Ia belum makan sore tadi. Niatnya sih, sepulang dari acara nongkrong ini dirinya akan mampir ke nasi goreng dekat rumahnya.

Eh, ternyata takdir berkata lain. Sialan memang.

“Depan sekolah itu kayaknya ada warung,” kata Yuda.

“Yan, temenin yuk!” ajak Cila kepada Lian yang sedang membalas chat dari Naya. Biasa, berkabar sudah sampai tahap mana.

“Hayuk!”

Cila menggandeng lengan Lian untuk berjalan bersama ke warung yang berada tepat di depan sekolah. Letaknya tuh strategis banget.

“Bu, pesen pop mie satu ya sama es-nya boleh deh dua cup,” pesan Cila kepada penjual yang sedang bermain ponsel sambil menunggu pelanggan.

Si penjual mulai membuatkan pesanan Cila.

“Abis dari sekolah ya?!” tanya penjual.

Cila dan Lian saling bertatapan bingung. “Iya, bu. Lagi nyari temen,” jawab Lian.

“Temen?! Emang kemana?”

“Ga pulang bu, dari kemarin sih. Kayaknya ngambek sama mamanya, soalnya sebelum ini mamanya sempet ngajakin pindah,” tambah Cila ikut menjelaskan.

Ibu itu mengangguk paham. Ia mengerti masalah anak muda. Biasa, masih ingin dituruti apa kemauannya. Kalau ga mau, ya engga.

“Udah ketemu?”

Lian menggeleng, “Belum sih, bu. Temen-temennya ga ada yang tahu juga.”

“Anak situ ya? Coba ibu liat fotonya, siapa tahu ibu kemarin ketemu sama dia,” kata ibu itu menawari.

Dengan cepat Cila mengambil ponsel di saku hoodie-nya dan mencari foto Jenar. Ia mengarahkan layar ponselnya kepada ibu penjual yang sedang menuangkan air panas ke cup pop mie.

“Loh, itu Jenar ‘kan ya?!” tebaknya langsung benar.

Cila dan Lian mengangguk semangat. Mendengar tebakan penjual tadi membuat keduanya merasa seperti mendapatkan sedikit petunjuk tentang masalah ini.

“Ibu kenal?!”

“Dia mah kemarin sempet ke sini nyari pop mie juga. Lumayan lama sih, sambil nungguin ojol. Bawa tas gede lagi,” infonya.

“Terus, terus, bu, dia ada cerita gitu ke ibu?!” tanya Lian dengan semangat.

“Kemarin sempet bilang sih, katanya lagi pusing banget mikirin masalah. Ibu juga tanya ‘kok bawa tas gede banget, emang mau ke mana?’. Dia jawab mau ke rumah neneknya gitu. Tapi, ibu ga tanya lagi rumah neneknya di mana.”

“Rumah neneknya?” Cila dan Lian saling bertatapan juga bertanya satu sama lain.

Mereka tidak tahu dimana itu. Mereka pikir rumah neneknya ya di tempat ya ditinggali oleh Jenar sekarang. Karena yang mereka tahu rumahnya hanya satu itu.

“Yaampun, bu, makasih banget loh infonya. Kayaknya takdir banget saya laper terus mampir di sini,” ucap Cila. “Berapa total semuanya?!”

“Lima belas ribu aja.”

Cila menyerahkan satu lembar uang berwarna biru. “Kembaliannya buat ibu. Anggep aja sebagai ucapan terima kasih karena udah ngasih info ke kita.”

“Yaampun, ga usah repot-repot, neng!” Ibu itu tetap menerima uang pemberian Cila. “Terima kasih banyak ya. Ibu doain semoga temen kalian cepet ketemu dan cepet balik.”

“Aamiin deh, bu! Kalo gitu kita berdua pamit pergi ya, mau lanjut cari. Makasih atas infonya bu!”

Keduanya bergegas pergi dari tempat itu. Mereka akan memberitahukan informasi ini secepatnya kepada Yuda dan yang lain. Setidaknya, mereka akan menemukan Jenar malam ini.

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang