Beberapa hari ini anak-anak Kepyoh Squad tidak ada kabar. Mereka bersepuluh tidak ada acara nongkrong. Ya gimana, sepertinya banyak yang sibuk mengurus tugas sekolah.
Sekolah pulang sore masih harus mengerjakan tugas yang bisa dibilang tidak sedikit alias banyak banget. Emang harus gini ya nasibnya anak sekolahan.
Sore ini Cila sedang menyapu di halaman depan rumahnya. Berhubung tugasnya hanya sedikit, lebih baik ia membantu pekerjaan rumah saja daripada dimarahi nanti.
Sekali dua kali Cila mengalihkan pandangan kearah jalan di depan rumahnya. Orang-orang banyak yang lewat dan itu mengalihkan fokusnya.
Tak berapa lama kemudian seseorang lewat lagi. Tapi, dari perawakannya Cila seperti kenal. Itu Rama kan? Kayaknya iya.
Cowok itu terlihat sedang bersepeda sore sendirian. Ada angin apa tiba-tiba jadi mau olahraga begini? Jujur, Cila kaget, spechless sampai rasanya kepengin kayang sekarang juga.
“WOI, RAM! TUMBENAN AMAT LO SEPEDAAN. KESAMBER GELEDEK DIMANA LO?!” tanya Cila membuat hampir satu kelurahan terbangun karena teriakannya.
Rama terpaksa berhenti. Ia menepikan sepedanya di dekat rumah Cila. Menepi saja, tak mau mendekat, biar Cila yang nyamperin. Mager, katanya.
“Lagi pengen cari udara seger aja. Engap mulu bawaannya.”
“Makanya jangan kebanyakan ngerokok,” balas Cila lalu berjalan mendekat kearah Rama.
“Ga ada hubungannya, tolol!”
“Heh! Sembarangan main ngatain anak orang tolol segala. Gue laporin emak nih?!” ancam Cila.
Bukannya takut Rama malah menantang cewek itu. Bener-bener tidak ada akhlak.
“Laporin aja, paling gue malah disuruh makan. Secara kan emak lo lebih sayang sama gue ketimbang diri lo sendiri.”
Memang betul, ibunya Cila lebih sayang kepada Rama daripada anaknya. Sebab, anak tetangga lebih baik dari anak sendiri. Entah, mungkin memang sudah garis dari sananya seperti itu.
“Pergi aja sono lo! Dasar manusia ga tau diri,” usir Cila kesal.
“Santai mba bro! Eh, kerjain pr matematika gue dong!” pinta Rama. Ia tahu, biasanya anak SMA pelajarannya lebih cepat ketimbang anak SMK seperti-nya. Apalagi, Rama memilih jurusan otomotif.
“Berani bayar berapa lo?!” tantang Cila. Aslinya, ia tak mau——hanya bercandaan saja.
“Lima ratus ribu sekalian pijat plus-plus mau?!”
“Lambemu!”
Sapu yang semua dipegang oleh Cila mendarat mengenai sepeda juga kaki Rama. Kebiasaan banget, ngomongnya suka sembarangan.
“Ampun mbak jago, bercandaan doang elah. Kalo mau juga ga papa sih,” ujar Rama disertai cengiran tanpa dosa.
Cila memilih untuk tidak lagi menjawab perkataan Rama. Kalau diladeni yang ada lama-lama malah semakin tidak jelas.
“Gue nitip, tolong beliin maklor di depan gang ya. Lagi pengen banget gue, cuma males mau ke sana.”
“Dih, ogah! Mageran sih lo.”
Cila berdecak, “Ayolah, Ram, sekali doang. Ntar beli double deh, yang satu buat lo.”
Rama tetap menggeleng keras. “Oke, sini gue beliin.”
Cewek itu segera merogoh uang di kantong celana pendek miliknya. Ia memberikan uang dua puluh ribu rupiah kepada Rama yang langsung diterima oleh cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
relationshit
Teen Fiction[ ft. 00 line ] hubungan kita sulit untuk dijelaskan, karena bukan sekedar berteman. © bluezennie_, 2O2O