╰☆◈ dua puluh tujuh ◈☆╮

104 19 4
                                    


Jenar menghela nafas lega ketika selesai mengantarkan pesanan customer-nya. Alhamdulillah lancar dan tidak ada komplain apapun. Bahkan, kelihatannya si customer begitu senang dengan dagangan Jenar.

Denis masih menunggu cewek itu di motor. Sengaja ia tidak ikut karena takut mengganggu. Aslinya mah takut kalau disangka sebagai pacar Jenar.

Sebenarnya disangka begitu pun Denis tak apa. Yang ia pikirkan adalah, ‘mana mau Jenar dipacar-pacarin dengan orang sepertinya’.

“Yuk, balik!” ajak Jenar dengan senang hati.

Denis menurunkan kakinya yang semula ia angkat bertumpu di atas kaki lainnya. “Pesanan aman?”

“Aman dong! Bintang lima nih!” ujarnya.

Alhamdulillah. Langsung balik apa mau mampir dulu?” tanya Denis. Ia mulai menyalakan mesin motor —bersiap pergi dari sana.

“Oh, mau minta jatah dulu ya?”

Dengan cepat Denis menggeleng. Pasti Jenar mengira kalau dirinya ingin dijajanin sebagai bentuk balas budi. “Engga, bukan gitu maksudnya, Nar.”

Jenar tertawa melihat Denis yang begitu salah tingkah. “Santai aja, Nis, abis ini kita mampir dulu kok. Mau sate, nasi goreng, soto, atau bakaran? Atau lo ada rekomendasi lain mungkin?”

“Ga gitu maksudnya, Nar. Ga usah dibawa serius.”

“Ga papa, lagian kan niatnya sebagai tanda terima kasih.”

Denis menyerahkan helm kepada Jenar yang langsung diterima oleh cewek itu. “Kalo niat lo gitu, gue ngikut aja, ga mau request.”

“Nyate aja ya. Mau kan?”

“Oke gas.”

Jenar segera naik ke boncengan Denis. Keduanya melesat pergi dari sana. Tujuan selanjutnya yaitu ke tempat dimana tukang sate berada.

Jujur saja, ini pertama kalinya bagi Jenar pergi makan berdua dengan seorang cowok. Biasanya, ia makan hanya bersama teman-teman cewek atau sendirian saja. Maklum, pendekar.

“Lo ga malu makan di pinggir jalan gini, Nar?” tanya Denis.

“Ngapain malu sih, Nis, gue sering kali pesen makan di sini. Kenapa, lo baru pertama ya?”

Denis menggeleng dengan cepat, “Ya enggaklah. Emang ada anak Kepyoh Squad yang ga pernah makan di tempat ginian?!”

“Yaudah, ngapain nanya gitu ke gue. Kan gue juga bagian dari Kepyoh Squad, gimana sih?! Lo ga anggep gue ya?”

“Astaga, bukannya gitu, Nar. Gue takutnya ntar kalo orang-orang ngomongin ‘ih, kok Jenar mau sih diajak cowoknya makan di pinggir jalan’ gitu.”

Jenar menghela nafas.

“Gue bilangin sama lo ya, Nis. Satu, lo bukan cowok gue alias kita cuma temen. Dua, gue yang ngajak lo bukan lo yang ngajak gue. Tiga, persetan sama omongan orang-orang, gue ga peduli. Yang penting gue makan, kenyang, dan bisa menjalani hidup dengan aman. Udah, itu aja rumus hidup gue.”

Baru sekarang Denis menemukan seorang perempuan dengan prinsip hidup seperti itu. Jujur, Denis menemukan perempuan dengan kebanyakan sifat menye-menye.

Jenar itu hidupnya lurus saja.

“Nar, yang bikin lo punya prinsip hidup kaya gini apa sih?!”

Berbicara empat mata dengan Jenar terkadang membuat Denis lebih terbuka tentang memandang sebuah arti ‘hidup’.

Jenar memandang langit malam yang terhias beberapa bintang. Ia menerawang jauh ke atas —mencoba mengulik hal yang membuatnya begini.

“Lo tau kan, Nis, kalo gue hidup ga didampingi sama kedua orang tua gue?”

relationshitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang