Rendi mengerjapkan matanya perlahan, rasa pusing langsung mendera kepalanya saat matanya terbuka dengan sempurna.
Kini pemuda itu sudah berada didalam kamarnya, setelah dua jam terkurung di gudang neneknya datang dan membukakan pintu untuknya, ia sedikit berharap saat itu, namun ternyata ia salah karna telah berharap pada neneknya.
"Saya cuman gak mau kamu mati disini, bisa jadi masalah, besok kalo kamu mau mati jauh-jauh dari sini, menyusahkan!"
Perkataan neneknya benar-benar mematahkan harapannya, Rendi kira neneknya telah berubah dan mulai membuka hati untuk menerimanya, ternyata ia salah.
Rendi menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, hari ini ia tak berniat sekolah, jangan kan sekolah bahkan berjalan pun ia tidak mampu.
Luka yang diberikan Ayah nya tak main-main, tubuhnya terasa remuk dan sakit saat digerakkan, apalagi bagian perut dan dada nya yang mendapat Bogeman mentah dari sang Ayah.
Ia juga tak mau masuk sekolah karna pasti kedua sahabatnya itu akan menanyakan perihal luka nya, dan ia tak mampu menceritakan nya pada mereka, karna bagaimana pun ini masalah pribadi nya.
Rendi bukan lah orang yang terbuka pada orang lain, ia lebih memilih memendam masalahnya sendiri dari pada berbagi pada orang lain. Karna menurutnya dia yang merasakan dan dia yang menjalani, jadi dia tidak mau menyusahkan orang lain atau dikasihani.
Netranya menatap darah kering dipakai nya, bahkan ia tidak sempat mengganti pakaian yang terkena darah nya sendiri.
A close my eyes and i can see----
Dengan susah payah Rendi meraih ponselnya yang berada disaku celananya, ternyata telpon dari sahabat nya Dito.
Rendi bingung ingin mengangkat nya atau tidak, pasti Dito akan bertanya yang macam-macam mengenal dirinya yang tidak masuk sekolah.
Akhirnya Rendi mematikan panggilannya, namun tak berapa lama kemudian ponselnya kembali berbunyi dengan orang yang sama.
Mau tak mau Rendi mengangkatnya, jika tidak pasti sahabatnya itu akan datang kemari mencarinya, dan Rendi tidak mau itu terjadi.
"Apa?" Tanya Rendi pelan, sungguh untuk berbicara saja tubuhnya langsung bereaksi.
"Ck. Kemana aja sih Lo, markas diserang, sekarang Lo harus kesini, ini si Rion gak mau pergi kalo gak ketemu Lo, anak-anak cuman sedikit, yang laen masih pada sekolah!, Gesit Rion bawa anak orang rame-rame!"
"To gua gak bisa, ba-----"
"Pokoknya gua gak mau tau Lo harus kesini, kita kalah telak, katanya dia cuman mau ngomong aja ama Lo"
Tut
Dito mematikan panggilannya sepihak. Sekarang Rendi tengah dirundung kebingungan, disatu sisi ia ingin membantu teman-temannya, namun disisi lain tubuhnya tak bisa diajak kompromi.
Namun mau tak mau dia harus bisa mengatur tubuhnya untuk kuat. Rion, musuhnya itu tak akan tenang sebelum bertemu dengannya, Rendi tidak ingin musuh nya itu nekat dan malah menyakiti teman-temannya.
"Gua bisa...."
__________
Rendi mematut dirinya didepan cermin, sungguh menyedihkan. Entah sengaja atau tidak Rendi seperti seorang penjahat saat ini.
Ia memakai celana jeans hitam, Hoodie hitam, sepatu hitam, topi dan jangan lupakan masker yang juga berwarna hitam, sangat senada dengan warna kehidupan nya, suram.
Rendi sengaja memakai topi dan masker agar luka nya tak terlihat, jika sampai teman-temannya tahu, maka akan panjang ceritanya.
Dengan langkah tertatih dia berjalan keluar kamarnya, sesekali meringis saat bagian lebamnya terasa kembali bereaksi saat tubuhnya bergerak
"Ashhh......."
Rendi berdiri diujung tangga, kamarnya memang terletak dilantai dua, jangan tanyakan bagaimana caranya Rendi kekamar semalam. Karna jawaban nya adalah Rendi mengesot dilantai.
Netranya menampakkan keraguan, dia tidak yakin bisa menuruni tangga itu, tubuhnya terasa sakit dibawa bergerak, lalu bagaimana caranya ia mengendarai motor.
Namun apapun akan ia lakukan untuk teman-temannya, setidaknya mereka lah yang selalu ada untuknya, jadi ia tak bisa membiarkan teman-temannya disakiti Rion.
Lima anak tangga lagi yang perlu ia lewati, maka perjuangannya lewati tangga akan selesai. Namun baru juga ingin melangkah bahunya ditabrak dari belakang. Membuat tubuhnya terguling kebawah.
Ia menatap neneknya yang menyebabkan ia terjatuh, neneknya itu terlihat tergesa-gesa.
"Apa kamu liat-liat, mangkanya jangan menghalangi jalan saya!"
Rendi hanya diam, bukannya tadi dia sudah jalan dipinggir, bahkan ia sama sekali tak menghalangi jalan, terbukti dengan ruang disampingnya yang masih lebar. Seperti nya neneknya itu memang memiliki dendam kesumat dengannya.
Ah tubuhnya terasa amat menyakitkan, tulangnya seperti rontok, Rendi meringis tanpa ada niatan bangkit dari posisi nya.
"Anak saya masuk rumah sakit sekarang, dan semuanya gara-gara kamu!" Ujar wanita itu dan pergi meninggalkan Rendi yang masih meringis.
"A-ayah masuk rumah sakit?...." Guman Rendi disela-sela ringkasannya.
Lihat bahkan Rendi pun tak tahu Ayah nya masuk rumah sakit, namun tetap ia yang disalahkan, padahal kan yang dipukuli Rendi, mengapa malah Ayah nya yang masuk rumah sakit.
"Ashhh..... s-sialan!" Udah sakit masih saja mengumpat.
____________
Rendi memarkirkan motornya didepan markas geng nya, dengan keahliannya dalam menyamar, lihatlah Rendi berjalan dengan santainya tanpa raut kesakitan saat lukanya bergesekan dengan baju.
"Assalamualaikum!" Teriak Rendi dari luar markas.
Markas sendiri adalah sebuah bangunan tak terpakai, seperti bekas gudang yang sangat luas.
"Udah dateng nih ketuanya" Rion, musuhnya itu berjalan mendekati Rendi.
"Ngecosplay jadi penjahat Lo pake baju item-item" ujarnya meledek Rendi.
Rendi tersenyum dibalik maskernya "ya iya dong, biar mantep" ujarnya santai.
Rion berdiri didepan Rendi "gua kesini cuman pengen ngomong ana Lo, gua dah nentuin tempatnya, dan waktunya bagian Lo yang nentuin" ujar Rion.
Rendi terlihat berfikir kemudian tak lama mengangguk "oke, gak masalah" ujar Rendi.
Rion menyeringai "sebelum gua pergi, boleh lah kita adu skill dulu" ujarnya.
Rendi menelan ludahnya, bukannya dia tidak berani. Namun bisa Rendi pastikan jika ia akan menghembuskan nafas terakhirnya setelah adu skill dengan Rion dengan keadaan seperti ini.
Sedari tadi saja ia berusaha keras menahan ringisan atau gelagat aneh apapun itu.
"Gua nggak bisa sekarang" ujar Rendi.
"Kenapa lo, takut?" Balas Rion meremehkan.
"Pokoknya gua lagi nggak bisa'
"Dan gua gak akan pergi dari sini sebelum ngukir luka di badan Lo"
Rendi menghela nafas kesal "kalo gitu pukul gua" ujarnya.
Dito, Danish dan teman-teman Rendi yang lainnya kaget mendengarnya, ada apa ini, mengapa sahabatnya itu malah menyerahkan dirinya pada musuh.
Rion menaikkan salah satu alisnya tanda tak mengerti.
"Lo belum puas kan kalo gua belum luka, kalo gitu pukul gua, gua lagi gak mau berantem untuk saat ini" ujar Rendi.
Rion menyeringai, dia diberi kesempatan secara langsung oleh musuhnya tanpa perlawanan.
"Bagus!"
__________
Jangan lupa voment and follow.
Double up khusus hari ini :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendika [Tersedia Versi Pdf]
FanfictionKehadiran Rendi adalah beban bagi kedua orang tua nya. Itu sebab nya, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan kedua orang dewasa itu. Rendi tidak mengenal keluarga bahagia, apa lagi merasakan hangat nya sebuah keluarga. Kehidupan nya terlal...