f i v e

16.1K 1.5K 106
                                    

Harus gue bilang kalau Irene ini pintar tapi sedikit ceroboh. Dia memasang karakter perempuan tangguh dan kuat tapi sembrono dengan mabuk di pesta pernikahan orang lain. Menurut gue, perempuan diciptakan dengan sisi vulnerable yang dominan. Gue bukannya mau merendahkan perempuan tapi dari pengalaman gue, perempuan emang rapuh. Apalagi tipe-tipe Irene gini. Yang ingin kelihatan strong di luar padahal broken di dalam.

Beside that, gue mengakui, dia menarik. Different kayaknya terlalu romantis untuk menggambarkan Irene. In case, ada yang berpikir gue fallin in love with her. I'm not. Banyak cewek yang punya karakter kayak Irene. Tapi emang belum tentu mereka menarik di mata gue. Not gonna lie, wajah jelitanya menjadi faktor utama. Bullshit banget kalau gue bilang inner beauty. Dimana-mana tampang akan menjadi daya tarik utama. Yang bisa dilihat dengan mata telanjang bukan lewat telepati. Lalu menarik disini kayak gue menemukan sesuatu yang seru. Sekali lagi, itu sama sekali nggak menafsirkan I'm fallin in love with her. C'mon, apakah di dunia masih ada yang percaya sama love at first sight? That's fucking bullshit, dude.

"Ini hari terakhirku di Bali. Aku harap kamu nepatin janji kamu itu."

Lagi-lagi, Irene merusak ego gue. Kalimatnya barusan seakan-akan dia nggak mau terlibat jauh dengan gue. Disaat banyak banget cewek yang bakal dengan senang hati apabila gue minta waktu liburan mereka dihabiskan bersama gue.

"Gue emang bukan cowok baik. But I'm not liar, tho."

Irene hanya melirik gue sekilas tanpa membalas. Mengatup bibirnya rapat-rapat. Pandangannya fokus ke depan seolah tidak ada niat untuk mengajak gue bicara dalam perjalanan menuju tempat yang ingin gue datangi. Yah, dia setuju menghabiskan liburan bareng gue. Terpaksa, tentu aja, karena gue sedikit memberinya ancaman. Awalnya gue juga masih menerka-nerka, lantas mencoba memberinya sedikit tekanan dari kesimpulan yang gue dapatkan. Dorongan itu secara implusif datang karena dia sudah merusak ego gue. Suprisingly, it's works.

Sebegitu penting persahabatannya dengan Dira sampai Irene lebih memilih untuk menuruti gue padahal dari wajahnya dia udah sebal banget sama gue. Gue nggak cukup ngerti, Maybe I have a bestfriend. Karenina adalah orang di luar keluarga yang gue biarkan punya kendali untuk mengatur gue. Tapi gue nggak begitu peduli soal perasaannya. Gue selalu melakukan apa yang gue mau dan apa yang ingin gue katakan.

Kalau diingat-ingat, cewek di sebelah gue sekarang sama sekali belum mengucapkan 'terima kasih' kepada gue. Bukan berarti gue pamrih dan berharap dia mengucapkan itu. Tetapi gue sudah menolongnya. Andai gue nggak punya hati nurani, pasti gue udah membiarkan dia bertindak bodoh dengan jalan di tepi pantai terus keseret ombak. Okay, terlalu hiperbola.

Tapi tetap aja, think about it, kalau aja bukan gue yang nolong dia, mungkin ada cowok yang lebih brengsek dari gue yang bakal memanfaatkan keadaan dia yang lagi mabuk. Sebenarnya dia beruntung ketemu gue. Kendati gue punya fantasi liar soal dia. Gue nggak melecehkan atau mengambil kesempatan apapun. Sebejat-bejatnya gue, gue laki-laki terhormat. Cowok yang kayak gitu bukanlah laki-laki menurut gue. Tapi banci.

Yang bikin gue lumayan takjub, Irene sama sekali nggak bertingkah drama soal itu. I mean, saat gue ingin sedikit mengerjainya, cewek itu tetap stay cool seakan itu bukan masalah besar. Padahal kalau cewek lain pasti sudah histeris atau mengambil itu sebagai chance untuk mengikat gue. You fuck me, so, you should take care of me. Menghindari hal tersebut makannya gue nggak pernah mau one night stand sama cewek mabuk. Ya, minimal dia harus agak sober lah untuk tahu apa yang ia lakukan dengan gue dan sepakat kalau ini cuma hubungan simbosis mutualisme. No hard feeling.

"Lo diam aja. Perasaan tadi lo lumayan banyak omong."

"Kamu cuma minta liburan saya dihabiskan sama kamu. Bukan minta saya jadi temen ngobrol kamu, kan?

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang