s e v e n

14K 1.4K 192
                                    

"Irene Kirania Pratista," Claudia tersenyum mencemooh. Mengoyangkan business card milik Irene yang terapit antara jari tengah dan jari terlunjuknya. "New girl, huh?"

Gue mengabaikkan Claudia, melewati tubuh cewek itu yang bersender di meja rias lantas melimpir ke wardrobe room untuk memilih kemeja. Sebenarnya gue bukan tipe konsumtif. Kalau nggak butuh-butuh banget, gue jarang belanja. Hanya aja beda untuk pakaian serta apa yang melekat di tubuh gue. Pekerjaan gue bikin gue banyak bertemu orang penting—which is gue nggak bisa asal dalam berpakaian dan make a goof first impression itu penting banget. So, barang bermerk sudah menjadi kebutuhan untuk gue.

"Lo nggak pernah loh Al nyimpen barang cewek di tempat lo." Entah sejak kapan, Claudia sudah berdiri di hadapan gue. Mengangcingkan kemeja gue tanpa diminta dengan gerakkan seduktif. Tiba di kancing terakhir—paling bawah, cewek itu mendongak, menyusuri tangannya di dada gue dengan matanya yang mencoba membelit gue. "Who's Irene? Apa lo mulai bosen bermain dengan gue, hm?"

"Mulai baper, eh?" Gue balik mencemoohnya. Menyingkirkan tangan Claudia kemudian beralih ke rak organizer—mengambil rolex lantas memakainya di tangan gue.

Remember Claudia? Yes, right. Dia teman tidur gue. Sebenarnya gue masih betah-betah aja sama dia. Claudia nggak ribet. Dia tahu jelas jenis hubungan apa yang terjalin antara gue dan dia. Tapi kayaknya gue harus mengakhiri hubungan enak sama enak ini sama Claudia. Rasa penasaran adalah tanda-tanda berkembangnya perasaan.

"Are you kidding me, Al?"

"What?" Badan gue kontan berbalik, menatap jengah Claudia yang hanya membalut tubuhnya dengan kemeja yang gue pakai kemarin. Dengan tingginya yang di atas rata-rata cewek Indonesia pada umumnya, kemeja itu hanya menutupi seperempat bagian dari pahanya.

"Lo nggak bisa buang gue gitu aja setelah lo dapet mainan baru." Tukasnya kesal. Menyugar rambut ke belakang lantas menggigit bibirnya gusar.

"Kenapa gue nggak bisa?" Tantang gue. Berkacak pinggang.

Claudia diam. Matanya bergerak gelisah.

Gue memutar bola mata. Membuang napas panjang. Sudah tahu apa yang ada di dalam kepala cewek itu sekarang. "We are over. Get out." Usir gue tanpa mikir panjang.

"Lo nggak bisa giniin gue Al," protes Claudia dengan langkah cepat mendekati gue. Gue nggak menghiraukan cewek itu, bikin dia makin sebal dan langsung menghadang jalan gue. Matanya sudah berkaca-kaca, menatap gue memelas. "Gue nggak mau pisah. Gue nggak mau. Kita baik-baik aja sebelumnya, kita punya banyak kesamaan, dan bahkan kita cocok di atas ranjang. Gue tahu lo nggak mau berkomitmen. Tapi...bukannya lo nyaman sama gue dan gue pun nyaman sama lo. Jadi kenapa kita nggak mencobanya, Al?"

"Mencoba?" Gue berdecak pendek. Menatap Claudia dingin. "Gue nggak punya keinginan ngelakuin itu sama lo."

"Karena cewek itu?"

"Karena lo nggak berarti apa-apa buat gue. Yang kalau gue bosen atau lo mulai menyebalkan kayak gini, gue nggak akan berpikir dua kali buat tinggalin lo. Lo nggak seistimewa itu. Stop being delusional."

Wajah Claudia merah padam. Matanya menatap gue tajam. Gue sudah siap untuk sebuah tamparan tatkala melihat tangan Claudia yang terayun menuju pipi gue. Tetapi tangannya malah berhenti di udara. Menarik napas panjang lantas menyentakkan tangannya turun. "Keterlaluan lo, Al."

Gue mendengus, memasukkan tangan ke dalam saku celana dengan kepala yang mengedik ke pintu. "Out. Now."

Cewek itu mendesis kesal. Air matanya mulai turun. Dengan gesit ia mengambil pakaian, memakai higheels dan terakhir menyambar tas miliknya. Sebelum memutar pintu, Claudia berbalik, menatap gue penuh kebencian. "You know, Al. Karma does exist. You will never understand the demage you did until someone does the same to you. So let's just smile and see what's gonna happen. Gue akan menjadi orang pertama yang tertawa saat ngeliat lo ngemis-ngemis cinta seorang cewek."

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang