"Mbak Irene,"
Aku menoleh, menarik perhatian dari layar laptop pada Jihan—copy writer favoritku. "Kenapa, Han?"
"Ada yang nyariin di lobi. Tadi katanya udah nelpon Mbak Irene, tapi nggak Mbak angkat."
Keningku kontan mengernyit. Meraih ponsel di atas meja dan menemukan ada tiga panggilan tak terjawab serta satu pesan whatsApp dari Aldian.
Aldian
gue di lobi kantor lo nih.
I brought something for you."Cowoknya mirip banget sama Mas Adrian lho, Mbak. Tapi katanya dia bukan Mas Adrian." Cerita Jihan yang masih berdiri di samping kubikelku. "Mau aku tanya, kalau bukan Mas Adrian dia siapa gitu? Nyaliku langsung ciut, Mbak. Mukanya dingin banget. Beda sama Mas Adrian yang hangat."
Aku tersenyum. "Memang bukan Adrian, Han. Dia saudara kembarnya."
Mata Jihan langsung berkedip. "Serius, Mbak? Kok bisa, ya? Serupa tapi tak sama. Aura mereka itu jauh banget bedanya. Kalau ngeliat Mas Adrian hati jadi adem, tapi kalau ngeliat saudara kembarnya hati jadi ketar-ketir, takut dan terintimidasi bawaannya."
"Aku turun dulu ya, Han." Kataku seraya bangkit berdiri. Bisa-bisa Jihan nggak menghentikan coletahannya sementara Aldian sudah nunggu di bawah.
"Eh, nggak langsung pulang aja, Mbak?" tanya Jihan ketika menyadari kalau aku pergi dengan tangan kosong. "Kerjaannya kan nggak harus dilemburin juga, Mbak. Ini aku nggak pulang karena nggak enak sama Mbak yang lembur. Masa aku enak-enakan pulang sedangkan Mbak lembur di kantor."
"Ini bukan akal-akalan kamu supaya biar bisa pulang kan, Han?"
Jihan nyengir. "Nggak gitu, Mbak. Tapi Mbak, ini kan hari jum'at. Meski aku jomblo, tetap aja nggak mau malam sabtu gini malah sayang-sayangannya sama kerjaan."
Aku menipiskan bibir. Salah satu alasan kenapa Jihan menjadi copy writer favoritku adalah karena coletahannya yang lucu. "Yaudah, aku pulang. Kamu pulang. Deal?"
Senyum lebar Jihan langsung merekah. "Yipeeee."
Aku menggelengkan kepala. Lantas membereskan barang-barangku yang juga dilakukan oleh Jihan. Mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada Aldian kalau aku sebentar lagi turun.
"Aku nggak maksud kepo ya, Mbak," Jihan kembali dengan coletahan saat di dalam lift. "Cuma daripada aku gosipin Mbak di belakang, kan. Mending aku tanya langsung. Mbak Irene pacaran sama kembarannya Mas Adrian?"
"Temen doang, Han."
"Temen lama-lama jadi demen ya, Mbak." Ledek Jihan.
"Nggak lah. Temen kok."
"Tapi Mbak, menurutku, kayaknya Mbak cocok deh sama kembarannya Mas Adrian." Opini Jihan. "Mbak Irene kan penyabar, melengkapilah sama kembarannya Mas Adrian yang kayak dingin-dingin galak gitu."
Aku terkekeh. Kali ini memilih untuk nggak menyahut. Bukan hanya buntutnya akan panjang. Tapi juga lift telah berhenti dengan pintunya yang terbuka. Jihan langsung berpamitan pulang sementara aku mengambil langkah ke sofa lobi dimana Aldian lagi menekuri ponselnya. Sadar keberadaanku, cowok itu mengangkat wajahnya lalu bangkit berdiri.
"Nih, buat lo." tukasnya seraya menyodorkan paper bag berlogo sebuah restoran. "Gue habis meeting deket sini. Terus inget lo lagi lembur, jadi gue beliin."
"Well, makasih."
"Lo mau balik?" tanyanya. Satu detik kemudian, matanya terarah pada tasku. "Bukannya lembur?"
"Tadinya," jawabku lantas tersenyum kecil. "Tapi Jihan nggak mau sayang-sayangan sama kerjaan malam sabtu gini."
"Jihan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...