t w e n t y f o u r

12.2K 1.6K 304
                                    

Kerjaan bikin gue nyaris gila. Tapi Irene bikin gue lebih gila lagi. Kenapa sih cewek suka banget ngehindar kalau ada masalah? Nggak bisa di hadapin aja gitu? Memangnya dengan menghindar gini fakta kalau gue mencium dia bakal berubah jadi hoax? Untung ya, untung banget, gue sabar, biasanya kalau sudah ada cewek mulai bertingkah gini, gue nggak pikir panjang buat cut off dia dalam hidup gue. Irene, you're lucky because I like you so much.

"Man, muka lo kayak orang yang nggak indehoi setahun tau nggak." Adalah Romeo yang menyapa dengan seringai menyebalkannya. Gue berdecak, nggak terlalu peduli. Membiarkan cowok itu memesan minuman pada bartender dan berharap setelah itu Romeo bakal menutup mulutnya. Padahal gue sudah menahan diri untuk nggak ke klub kalau lagi di Jakarta. Eh, pas di Allitude, tetap aja, Romeo bisa mencium keberadaan gue yang lagi galau.

Bentar, gue yang uring-uringan gini bisa disebut galau nggak sih? Shit, gue beneran udah lembek kayak banci.

"Kenapa lo?" sebuah kebodohan gue percaya Romeo bisa diam. Nyatanya, nggak sampai semenit, suara menyebalkannya itu mencemari telinga gue.

"Biasa, kerjaan." Gue menjawab singkat. Kalau nggak dijawab Romeo bisa lebih annoying lagi.

Romeo berdecak.

"Nggak usah ngibul. Penganut work belance kayak lo nggak mungkin mabuk-mabukkan karena kerjaan." Tampik Romeo. "Yang kayak gini biasanya pasti gara-gara cewek."

Gue bergeming. Kembali menuangkan vodka ke dalam gelas. Tak acuh pada Romeo.

"I know right!" Romeo menjentikkan jarinya. "Cewek nih, yakin gue."

"Elo kalau mau merusak mood gue mending jauh-jauh deh, Rom." Sungut gue mulai kesal. "Gue lagi nggak bisa diajak bercanda sekarang."

Romeo terbahak. Sama sekali nggak terpangaruh dengan kekesalan gue. "Rileks, Man. Elo seharusnya bersyukur gue ada disini buat lo. Nggak ada teman yang sesetia kawan gue di dunia ini. So, elo kenapa? Jia yang punya dendam pribadi sama lo aja khawatir sama keadaan lo yang tiba-tiba banyak ngelamun. I'm all ears. Tell me."

Mata gue kontan menyipit. "Jadi lo ada disini karena dikasih tau Jia?"

"Kurang lebih,"Romeo menjawab acuh. "Jia bilang ada yang aneh sama lo. Terus gue tanya lo dimana, dia bilang lo ada di Spore."

"Hidup gue kayaknya nggak ada rahasia lagi." Desah gue. Seharusnya gue ke Singapura bareng Irene buat nonton konser. Tapi gimana mau nonton konser bareng sedangkan telpon gue nggak pernah di angkat, chat gue nggak dibalas, dan setiap kali gue ke apartemen atau kantornya, cewek itu selalu nggak ada di tempat. Alhasil gue nonton sendiri. Baru kali ini gue nggak excited nonton konsernya The 1975.

Romeo terkekeh. "Cewek yang bikin lo galau gini masih jadi rahasia. Buruan, kasih tau gue, siapa cewek yang bikin Aldian Nugraha Alden si fakboi jadi sadboy gini?"

Gue merengut. "Nggak usah over elo, Rom."

Romeo nyengir. "Ayo, cerita dong, Man. Elo kayak nggak percaya gitu sama gue."

Pada akhirnya gue pun menceritakan semuannya pada Romeo. Literally semuanya, bahkan liburan bareng Irene di Bali pun gue ceritain. Reaksi Romeo? Well, cowok itu memang nggak langsung menyemburkan tawa. Malah lebih menyebalkan, ia menahan tawanya dengan sorot mata penuh ledekkan. Terus menepuk punggung sambil berkata, "welcome to the club, Man."

"Menurut gue, lo harus minta maaf sama dia," saran Romeo setelahnya.

"What should I?" kernyit gue. Kalau gue minta maaf, tandanya gue menyesal sudah cium dia. Kenyataannya gue nggak menyesal sama sekali. Bahkan kalau ada kesempatan, gue nggak keberatan buat season 2.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang