f o r t y

13K 1.6K 476
                                    

Welcome home.

Bagaimana bisa dua kata itu berhasil mengjukirbalikkan perasaan gue? Damn, sepertinya gue benar-benar sudah cinta mati sama cewek yang ada dalam pelukkan gue sekarang. Bahkan gue tidak peduli bagaimana letihnya gue menyelesaikan semua pekerjaan dalam waktu secepat mungkin agar bisa melihat wajah ini lagi. Iya, wajah cantik pacar gue. Yang kini memberikan senyum terindah yang pernah gue lihat selama gue hidup. Gue merangkum wajahnya dengan kedua telapak tangan. Memandang wajahnya yang kemarin-kemarin hanya bisa gue lihat dari sebuah layar. Kini ia ada di hadapan gue. Benar-benar nyata. Lihat bagaimana bibirnya melengkung membentuk senyuman. Damn, Irene. Betapa gilanya gue karena elo.

Lalu begitu saja, seperti bagaimana dua orang dewasa yang saling menyayangi melepas rindu. Wajah gue perlahan mendekat—memiringkan kepala dan menjemput bibirnya dengan bibir gue. Memagut bibir bawah dan atasnya bergantian. Irene membalas dengan cara yang sama. Tangannya menumpu di bahu gue. Ciuman itu tidak menggebu-gebu. Lembut dan berhati-hati. Hingga ketika gue memindakan kepala ke kiri agar bisa menciumnya lebih nyaman yang terjadi justru kening Irene tertantuk oleh topi yang gue pakai. Membikin ia spontan mengaduh dan menarik bibirnya.

"Is it hurt?" tanya gue khawatir. Mengusap keningnya. Gue benar-benar nggak mengerti, kenapa setiap kami berciuman selalu aja ada hal yang merusak momen.

Dia menggeleng, terkekeh kecil. "Lain kali sebelum mau cium aku kamu harus pastiin udah lepas topi."

Gue tertawa, "noted," lalu kembali menciumnya. Rasanya gue benar-benar kecanduan mencium Irene. Padahal waktu status kami hanya sekedar teman, gue bisa menahan diri gue untuk nggak mencium dia setiap kali Irene sudah nampak menggemaskan di mata gue. Namun sekarang, kalian bisa lihat sendiri betapa banyaknya skinship yang gue lakukan saat bersama Irene. Sampai ponselnya tiba-tiba berdering dan menganggu kegiatan kami.

Ketika Irene melepaskan bibirnya dan akan mengangkat telpon, gue langsung menarik tangannya, kembali membuainya dengan ciuman, "nanti aja," erang gue di sela-sela ciuman.

Irene menangkup wajah gue. "Ini telpon dari Mama,"

Otmatis gue langsung berhenti menciumnya, Irene tersenyum kecil, mengusap pipi gue sebentar lantas melepaskan pelukkanya, berniat untuk beranjak dari pangkuannya. Namun gue menahannya dengan memeluk pinggangnya. "I told you, aku nggak akan lepasin kamu sedetik pun. Angkat di sini aja."

Irene menipiskan bibirnya lantas membuang napas dan mengangkat telpon dari Mamanya. Gue tersenyum. Menaruh dagu di bahunya.

"Iya, Ma?" gue memejamkan mata, menyembunyikan wajah di perpotongan leher Irene. Sama sekali nggak berbohong saat bilang keringat Irene baunya seksi. "Iya, udah kok. Kayaknya habis tahun baru aku baru balik," Irene langsung memukul tangan gue ketika gue memberi kecupan di lehernya. Ia memberi gue pelototan yang malah membikin makin ingin menjahilinya. "Udah setahun aku nggak tengokkin Papa. Apalagi kemarin aku ke sana cuma seben—ah," Irene menggigit bibirnya, langsung menoleh dengan tatapan tajam sementara gue mengeluarkan tampang polos. Mengangkat bahu. Matanya terpejam sekilas nampak kesal lalu kembali bicara dengan Mamanya. Gue menahan tawa. Kali ini nggak lagi menjahilinya. "Nggak apa-apa kok. Tadi kakiku kesandung. Em, iya, ya udah, besok aku kabarin Mama lagi."

"Kamu itu jahil banget sih. Aku kan lagi ngobrol sama Mama," cercahnya sebal setelah mematikan telpon.

"Emang aku ngapain?"

Irene nampak berusaha sabar, meski gue tahu pipinya kini memerah akibat tindakkan gue tadi. "Aku mandi dulu. Hari ini aku mau ke tempat Dira," katanya seraya bangkit dari pangkuan gue.

"Lho? Aku kan baru pulang, Sayang." Tentu gue mengeluarkan protes.

"Salah sendiri kenapa pulang nggak kasih kabar," balasnya cuek. "Lagian karena kamu baru pulang, kamu harusnya istirahat."

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang