Nggak ada hal yang lebih menyebalkan dari flight subuh.
Jia emang sialan. Seharusnya gue pecat dia dari dulu terus gue ganti sama sekertaris yang lebih cantik dan nggak nyebelin. Yah, seharusnya. Sadly, gue nggak bisa pecat Jia karena cewek itu berlindung di balik punggung bokap. Sekertaris slash sepupu slash mata-mata bokap slash cewek sialan slash penghancur mood gue pagi ini bukanlah sekertaris biasa. Dia kayak bom atom yang bisa meledak kapan aja dan bikin gue hidup ngegembel karena terlalu banyak menyimpan rahasia gue.
Sialan Jia.
Gue membuang napas, memutar kepala menghadap jendela pesawat. Menopang dagu dengan tatapan bosan dan ngantuk.
Untuk pertama kali dalam sejarah hidup gue—gue harus naik economic class. Nggak usah tanya kenapa, karena nanti nama Jia akan kembali tersebut saking betenya gue sama cewek itu. Padahal beberapa jam yang lalu gue masih menikmati pergumalan seru di atas tempat tidur bersama Claudia—cewek yang sebulan ini menjadi teman tidur gue. Lalu si sialan Jia menghancurkan kenimatan gue dengan scedule meeting dadakkannya, damn it.
Dan gue yakin, saat ini isi otak kalian pada mikir gue cowok brengsek yang suka tidurin sembarang cewek. Well, sebenarnya gue males memberikan pembelaan cuma untuk bikin gue terlihat lebih baik. Gue emang bukan cowok baik tapi gue ngerasa gue juga nggak brengsek-brengsek amat. Gue hanya nggak mau punya hubungan rumit yang bernama pacaran.
Nggak, nggak, gue nggak punya trauma apapun. Meskipun gue anak broken home tapi bokap nyokap gue berpisah dengan cara yang beradab. Hubungan mereka baik-baik aja dan udah punya keluarga masing-masing sekarang. Gue nggak merasa perpisahan mereka memberikan dampak psikologis ke gue.
Semuanya murni di guenya yang nggak mau in relationship. Makanya, gue cuma mau 'deket' dengan cewek yang punya prinsip sama kayak gue. Biasanya kalau cewek yang gue deketin nggak sepemikiran, gue memilih untuk back off. Daripada pusing sama drama mereka yang bilang gue permainan hatinya dan blah-blah. Mending cari yang lain.
"Adrian?"
Mata gue terpejam, menahan umpatan. Nggak bisakah gue menikmati perjalanan ini dengan tenang?
Mood gue udah jelek kalau harus meladeni orang yang lagi-lagi nggak bisa membedakan mana Adrian dan mana gue. Well, hal kayak gini emang sering kejadian. Usually, kalau mood gue lagi bagus, gue akan dengan senang hati berpura-pura jadi Adrian karena terlalu malas untuk menjelaskan siapa gue sebenarnya. But, not this time, dude.
Gue menoleh, memasang ekspresi masam, siap berkata ketus. Alih-alih gitu, gue malah terpana kala menemukan suatu keindahan yang bikin kata-kata itu tertahan.
"Nggak nyangka ketemu kamu disini," cewek itu kembali bersuara dengan nada ramah sekaligus bibirnya yang menggoda minta dicium, melengkung manis—yang baru gue sadari kalau dia udah duduk di samping gue sekarang. "Aku kira kamu di Bali."
Okay, I will explain this. Mungkin beberapa dari kalian bingung dengan situasi ini. Adrian itu bukan nama gue. Melainkan saudara kembar gue. Emang sulit buat bedain kami karena kemiripan yang hampir seratus persen. Pun gitu, kalau orang yang udah kenal deket pasti bisa langsung bisa bedain kami berdua.
Adrian beda banget sama gue—personality. Bisa dibiang kita bagaikan ying dan yang, air dan api, hitam dan putih. Simply, Adrian good boy dan gue adalah bad boy. Begitu yang orang-orang bilang. Padahal manusia itu paradoks. Nggak ada yang benar-benar baik dan nggak ada yang benar-benar buruk. Yang ada cuma lo bilang kenal deket aja sama orang itu. Saat lo menyalami karakter seseorang, lo akan tahu betapa uniknya manusia. What the heck? Kok gue udah kayak Psikolog yang lagi seminar gini?!
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...