e p i l o g e

24.7K 1.4K 173
                                    

ALDIAN

Jangan panggil gue Aldian Nugraha Alden kalau nggak bisa menahan Irene bersama gue malam ini.

Anyway, Dira ada masalah apa sih sama gue? Kalau dia masih dendam karena gue pernah peringatin soal Adrian—seharusnya nggak sampai sekarang lah. Dia kan juga sudah punya suami dan kelihatan bahagia tuh. Lagian niat gue baik biar dia nggak keburu jatuh terlalu dalam sama Adrian. Saudara kembar gue itu memang baik, tapi saking baiknya dia suka bikin cewek salah paham dan berharap lebih sama dia. Well, everbody has dark side. Jangan berekspektasi lebih sama manusia, right?

Speaking about Adrian, mungkin kalian bertanya-tanya kenapa gue nggak datangin Adrian pas lagi di Bali gini. Adrian lagi nggak di Bali. Dia balik ke Canada karena mau tahun baru sama Mama. Sebenarnya Adrian sempat mengajak gue. Sudah lama memang gue nggak bertemu Mama. Hanya aja, gue ingin memperbaiki dulu hubungan gue dengan Irene biar sekalian nanti memperkenalkan Irene sebagai calon menantu pada Mama.

Pede banget lo, kayak lamaran lo bakal diterima aja! Gue bisa mendengar suara hati kalian menyerukan kalimat itu.

Well, gue melamar Irene bukan berarti akan mengajaknya menikah sekarang. Lagian cincin yang gue beli gue simpan di penthouse karena nggak menyangka bakal ketemu Irene disini. Gue tahu Irene bukan tipe orang yang implusif. Gue sudah bisa menerka jawaban yang akan diberikan Irene bila gue nekat minta ia menjawab saat itu juga. Kami bisa bertunangan dulu, maybe. Gue ingin hubungan kami benar-benar official—agar siapapun di luar sana bisa berhenti menganggu kami karena mereka nggak akan punya kesempatan. Sekaligus membukam orang-orang yang memandang sebelah mata keseriusan gue. Action speak louder than word, right?

"Al, jangan ngeliatin aku terus. Kita kapan jalan kalau kayak gini," ucap sayangnya gue. Mulai nggak nyaman karena alih-alih menghidupkan mesin mobil, yang gue lakukan malam memandangnya dengan senyum.

Gue terkekeh kecil. Berterima kasih pada Lando—finally, gue ingat namanya suaminya Dira—karena sudah membuat istri tengilnya berhenti menganggu gue dan Irene pacaran. Dira sempat memberi gue peringatan untuk mengantar Irene pulang sebelum jam sepuluh. Buset, udah kayak Emaknya aja. Namun gue tentu sudah punya rencana lain. Dan mengantar Irene balik ke vilanya nggak termasuk dalam rencana gue.

"How can you be so pretty?" puji gue. Menatapnya kagum. "I feel like I'm wasting my time when I'm not looking at you."

Irene mengerutkan hidungnya. Memukul lengan gue pelan. "Apa sih, gombal banget," ia lalu membuang muka. Sia-sia, gue sudah melihat rona merah jambu di pipinya.

Jatuh cinta enak juga ya. Bawaanya bahagia terus. Terserah pada mau bilang gue bucin, lebay, alay, atau segala macamnya. Yang ngomong kayak gitu pasti nggak pernah jatuh cinta.

Nggak ingin sayangnya gue makin malu terus berakhir ngambek dan gue pun nanti bisa kena amuk Karenina karena datang telat. Gue pun menghidupkan mesin mobil lalu menjalankannya ke daerah Ubud. Kalau dipikir-pikir, gue dan Irene belum pernah dinner romantis. Kendati sudah banyak cafe dan restoran yang kami datangi, semuanya untuk alasan hangout semata. Irene juga sepertinya fine-fine aja kendati gue nggak bersikap romantis padanya. Bahkan gue nggak pernah membelikannya bunga atau hadiah kecil. Sepertinya gue harus mulai memikirkan hal itu dan mencari tahu bentuk love languange Irene. Gue benaran nggak ingin kami kembali berkonflik lalu harus menjaga jarak dengannya.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam lamanya, kami sampai di Swept Away. Kalau soal memilih tempat romantis memang Karenina jagonya. Gue sekarang mengerti kenapa Teo cinta jungkir balik dengan Karenina yang sangat bertolak belakang dengannya. Teo itu kalem sementara Karenina berisik parah. But, yeah, kita nggak pernah tahu bakal jatuh cinta sama siapa kan?

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang