Pertama kali aku melakukannya, honestly, I don't really remember. Kalau untuk sebagian orang pengalaman pertama akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Buatku justru pengalaman pertama layaknya mimpi yang sama-samar di ingatan. I was drunk when I did it with Raka. Begitu pun dengan Raka. Kami sama-sama mabuk. Aku nggak menyalahkan Raka karena aku masih ingat ia meminta izin padaku sebelum melakukannya. So, it's not like, dia memaksaku atau memanfaatkan keadaanku yang lagi mabuk. Because that night, jika pun kami memang ingin melakukannya, seharusnya nggak di kondisi kami sama-sama mabuk. Dan dikondisiku yang lagi rapuh-rapuhnya sebab itu adalah hari resminya orang tuaku bercerai.
Lalu apakah aku menyesal? You know, aku berusaha untuk nggak menyesali apapun telah terjadi dalam hidupku. Terkhususnya keputusan-keputusan yang aku ambil sendiri. Aku tahu aku bukanlah wanita yang sempurna. Banyak kesalahan yang kulakukan entah itu disengaja ataupun nggak disengaja. But, at least, sampai saat ini, aku bertanggungjawab dengan pilihanku serta berusaha menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya.
Meski kejadian semalam masih sulit untuk kupercaya. I mean, sekali lagi, bukan karena aku menyesal, hanya saja, semalam, aku merasakan perasaan yang nggak pernah kudapatkan dari cowok manapun. Ini bukan berarti aku melakukannya dengan semua mantan pacarku. Raka yang pertama, aku nggak pernah melakukannya lagi dengan siapapun sampai tadi malam. So, bisa dibilang, aku merasa ini seperti pertama kali padahal ini bukan yang pertama. You know what I mean, right?
Aldian, he's...I don't know, aku nggak ingin membandingkannya dengan Raka karena jelas aku dan Raka masih sangat noob pada saat itu. Tapi Aldian, just, he's really gentle. He treats me well. He makes me feel safe, yang jelas, semalam sangat berkesan buatku.
"Morning,"
Aku dikejutkan oleh suara bernada berat. Saat mendongak, Aldian berdiri di ambang pintu sambil bersandar di sana. Kedua tangannya berisi mug dengan senyum simpul yang terlukis di bibirnya. Lalu beberapa detik kemudian, ia mendekat, duduk di sisi yang kosong seraya menyodorkan salah satu mug di tangannya.
"Thank you," ucapku, bersandar di kepala tempat tidur. Balas tersenyum meski aku yakin terlihat sekali kikuknya. Kuseduh teh sembari mengintip kecil cowok itu yang masih menatapku.
"Kenapa muka kamu merah?"
Aku tersedak. Cowok itu malah tertawa. "Yes, we did, Irene."
"Apa?"
"In case, kamu mau menolak kenyataan kalau kita ngelakuinnya semalam."
"Aku nggak nolak kenyataan," sahutku dengan wajah tertunduk. Malu banget. "Aku cuma...nggak bisa sesantai kamu."
"Siapa bilang sekarang aku santai?" aku mendongak, menatapnya. Adrian menarik ujung bibirnya lantas meraih tanganku untuk menempelkan telapak tanganku di dadanya. "You can feel it?"
Aku meneguk saliva ketika merasakan betapa kencangnya debaran di dada Aldian. Mataku kembali menatapnya lantas melapaskan tanganku dari genggamannya. Kugigit bibir guna menghilangkan kegugupanku. "Kamu yang pakaiin aku baju?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Semalam kamu bilang kedinginan," jawabnya lalu mengerling. "Dan kemejaku yang paling deket. But, anyway, my shirt looks good on you."
Lagi. Jantungku berdetak nggak terkendali. Kualihkan perhatikan ke yang lain asalkan bukan ke wajah Aldian.
"Oh, ya, aku ngambil baju Papa kamu di kamar tamu." Katanya lagi.
"It's okay."
Kami berdua saling diam. Hari menunjukkan pukul enam pagi saat kulirik jam di atas nakas. Biasanya aku baru siap-siap buat ke kantor pukul tujuh. Sekarang aku bingung mau melakukan apa, apalagi dengan keberadaan Aldian yang atas tempat tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Chick-Lit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...