t h i r t y f o u r

15.4K 1.7K 370
                                    

Apakah jatuh cinta bikin orang jadi nggak rasional?

Kalau pertanyaan itu ditanyakan satu tahun yang lalu, maka gue akan menjawab dengan bahu terangkat serta wajah super cuek, "probably, but it's not working for me." Right, Aldian Nugraha Alden memang secongkak itu. It's not like gue bangga dengan reputasi gue yang dijuluki player atau whatever itu. Dan gue juga bukan Dewa Narcisscus yang jatuh cinta pada bayangan sendiri saking tergila-gila dengan kegantengannya. Meski, yeah, gue sadar kalau gue ganteng. Lebih daripada itu, gue orangnya sangat mengedepankan logika alih-alih perasaan—melakukan hal-hal konyol yang malah terkesan bodoh bukan gue banget.

Seperti yang orang-orang bilang, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Dia bisa bikin lo bahagia tak terhingga tapi juga dia bisa bikin lo uring-uringan nggak keruan. Dia bisa bikin lo gelisah, cemas, takut yang disebabkan oleh satu orang. Dia bisa bikin lo kangen setengah mati sampai-sampai lo nggak bisa tidur sebelum ngeliat wajahnya atau mendengar suaranya. Segala logika dan rasionalitas ketika lo lagi membuat keputusan atau menilai sesuatu sama sekali nggak berlaku. Karena seperti yang pernah gue baca, saat orang lagi jatuh cinta bagian otak yang bernama korteks frontal diistirahatkan—yang dimana bagian itu bertanggung jawab dalam memberi penilaian, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta kontrol impuls. Wait, kenapa gue jadi kayak dosen yang lagi kasih materi kognitif?

Intinya, jatuh cinta ternyata memang bikin orang jadi nggak rasional. Bahasa kasarnya, bikin elo bego. Berat untuk mengakui, sometimes, ada beberapa hal yang bikin gue memang ngerasa gue bego. Oddly, gue nggak keberatan sekalipun memang lagi dibegoin. Irene, what are you doing to me?

"Elo udah confess sama Irene?!" Jia berseru dengan suara nyaring. Gue rasa gue nggak bisa menyimpan ini lebih lama pada Jia. Apalagi Jia sudah menyimpan kecurigaan pada gue. Jiara bahkan telah memperingati gue untuk nggak main-main sama Irene. Ditambah lagi, Karenina yang mana orang yang gue percaya untuk dijadikan tempat curhat punya perbedaan waktu yang panjang. Cewek itu bakal ngamuk kalau gue telpon di jam-jam ia lagi tidur princess serta menganggu kegiatannya dalam memberi gue keponakkan. Yaudah, akhirnya gue cerita ke Jia di waktu breakfast di restoran hotel.

Gue mengangguk. Menyeduh kopi sebelum akhirnya bersuara. "Dia belum jawab. Gue kasih dia waktu buat mikirinnya dulu."

Jia memandang gue lekat. Keningnya mengerut beserta sorot mata menyelidik bercampur nggak percaya. "Wait, I still find it hard to believe...seriously? You are?"

"I'am," gue mengangguk sekali lagi.

"You know, Al. Ini terlalu pagi buat bercanda."

Gue menghela napas. "Apa wajah gue sekarang kayak orang yang lagi bercanda?"

"Oh my God, lo benaran?!" jerit Jia dengan mulut menganga.

"Ya, beneran lah." Gue mulai sewot.

Jia memijit pelipisnya. "Kalau gitu, kenapa si tante masih nyariin lo?" matanya masih menyirat keraguan.

"Mana gue tahu. Tanya orangnya sendiri kenapa nyariin gue."

"Gue peringatin kalau lo cuma main-main—"

"Gue nggak mungkin ngajak cewek komitmen cuma buat main-main. You know me so well, Ya."

Jia terbungkam. Mungkin masih sulit buat percaya. Bisa dimengerti, Jia yang paling tahu gimana menolaknya gue dengan sebuah komitmen. Bahkan meski gue pernah suka serius sama cewek, gue masih enggan buat melakukan itu. Sabrina adalah cewek itu. Dia dulu bekerja di perusahaan bokap. Gue sudah mengenal dia sejak SMA. Long story short, kami berdua dekat. Mungkin karena dia lebih tua dari gue, gue merasa nyaman sama dia. Dia cukup banyak membantu gue. Karena itu, gue sedikit merasa berhutang budi. Makanya, saat Sabrina mengadu soal suaminya yang abusive, gue bersedia buat menolong dia. Hanya aja, Sabrina mengsalahartikan bantuan gue.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang