"Yes, Mam. Aku sekarang pacaran sama Irene."
"Mami nggak bilang apa-apa lho, Al."
"Tapi Mami ngeliat aku seolah lagi menuntut jawaban."
Mami tertawa begitupun Manda yang memang sedari tadi sudah menahan dirinya untuk melakukan itu. Sebenarnya nggak ada masalah apabila Mami tahu. Hanya aja, cara mengetahuinya itu unexpected banget. Gue sih santai aja, cuma Irene kelihatan banget malunya hingga wajahnya memerah sampai telinga. Ia nggak bisa berkata-kata dan membiarkan gue yang menjelaskan sepenuhnya. Bahkan Irene meminta gue untuk tetap tinggal karena nggak enak sama Mami.
"Sejak kapan sama Irene, Al?" tanya Mami tanpa menahan rasa penasarannya lagi setelah memindahkan beberapa tupperware yang berisi lauk pauk yang bisa gue panaskan ke dalam kulkas lantas ikut duduk bersama gue di kursi pantry. "Kok nggak pernah cerita ke Mami atau Papa?"
"Belum lama kok, Mam. Tapi deketnya udah lama."
"Mas Al-nya digantung lama sama Mbak Irene, Mam." Manda menimpali dengan wajah super ngeselin. "Makanya jadiannya lama banget. Mami nggak percaya sih waktu aku bilang Mas Al jealous sama Mas Ad pas Mas Ad sama Mbak Irene ngobrol di deket kolam."
Mami terkekeh kecil. "Padahal Papa kamu ngebet banget pengin jodohin Irene sama Adrian."
Gue berdecih. "Papa kurang kerjaan banget ngurusin jodoh orang."
"Jodoh orang dari mana sih, Mas Al? Kan jodoh anak sendiri." Lagi-lagi Manda nimbrung. Senyum meledek nggak luntur dari bibirnya. "Lagian menurutku Mbak Irene memang lebih cocok sama Mas Ad sih. Mas Ad kan soft gitu, sabar, nggak emosian. Yang paling penting nggak banyak cewek kayak Mas Al."
"Tapi Irene-nya maunya sama Mas gimana dong?" gue menyahut nggak mau kalah.
Manda yang nggak bisa membalas langsung mengerucutkan bibirnya. Mami cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat kelakuan gue dan Manda. Tiga puluh menit kemudian, Mami pamit pulang, gue menawarkan diri buat nganterin tapi Mami bilang sudah ada Pak Rahmat yang menunggu di depan lobi.
"Nanti kalau ada waktu ajak Irene main ke rumah ya, Al." Pesan Mami saat gue mengantarnya ke lobi. "Papa pasti seneng kamu sudah punya pacar."
"Tanya Irene dulu ya, Mam."
Mami mengangguk bertepatan dengan pintu lift membelah dua. "Mami seneng deh kamu sudah punya pacar. Kalau udah yakin, jangan lama-lama ya, Al."
Gue tersenyum kikuk. Nggak ada balasan untuk ucapan Mami barusan. Kalau respon Mami sudah begitu ketika mengetahui gue punya pacar, Papa mungkin langsung cari gedung dan memesan jasa WO. Well, bukannya gue nggak serius, cuma, untuk mengambil langkah ke tahap itu, nggak bisa diputuskan oleh satu pihak aja. Gue nggak tahu perasaan Irene sudah sedalam itu apa belum sama gue. Gue nggak mau salah langkah yang akan membikin hubungan masih baru ini mengalami kemunduran. So, gue ingin menjalani apa yang terjadi sekarang dulu.
*
"Tumben banget lo nyamperin gue," ucap Raka ketika menemui gue di lobi utama gedung kantornya.
Gue tersenyum tipis. "Kebetulan lewat kantor lo. Yaudah, sekalian aja, brunch bareng."
"Padahal gue bakal seneng banget kalau lo terima tawaran gue buat ngambil job di tempat gue. Malah ke perusahaan lawan. Emang sense of loyalty lo itu kurang ya." Sindir gue ketika kami memasuki cafe di dalam gedung kantor Raka.
"You know me, gue nggak suka nepotisme." Kekeh Raka. "Lagian, gue butuh ketemu orang-orang baru. Males juga kalau ketemu lo mulu."
"Sialan lo," umpat gue yang di balas tawa oleh Raka. Obrolan itu terhenti ketika kami mencari tempat lantas memilih kursi di pinggir tembok kaca yang disusul dengan pramusaji datang memberikan buku menu. Seusai memesan, gue kembali bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Chick-Lit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...