Actually, religion gap in family sudah banyak terjadi di Indonesia. Buatku sendiri memang membingungkan di awal. Namun setelah menjalaninya, aku belajar tentang toleransi dan rasa saling menghormati. Setiap natal, aku akan ikut merayakannya bersama Ayah. Begitu pun bila hari Raya Idul Fitri, Ayah akan berkunjung ke Jakarta dan merayakannya bersamaku dan Mama. Keluargaku mungkin bukan keluarga yang utuh. Bahkan pernah hancur hingga akhirnya tercerai berai. Namun, aku sadar kalau setiap orang pernah melakukan kesalahan. Ayah, Mama, aku, nggak luput dari itu. Who am I to judge another when I myself walk imperfectly?
Terlambatkah aku menyadarinya setelah aku memperlakukan Aldian seperti pendosa yang tidak pantas diberi maaf? Padahal aku tahu itu masa lalunya. Terlepas dari apa yang kulihat di bandara beberapa hari yang lalu. Aku menyadari kalau aku terlalu cepat menyalahkannya.
"Hubungan tanpa masalah namanya bukan hubungan," ucap Ayah setelah kami berwisata kuliner di warung-warung makan yang tersedia di sekitar bantaran Sungai Barito. Kini aku dan Ayah sedang bersantai sembari menikmati detik-detik matahari akan tenggelam. "Kesalahan Ayah adalah Ayah nggak pernah mengkomunikasikan masalah itu. Sampai akhirnya Ayah kehilangan Mama kamu dan terlambat untuk memperbaiki segalanya."
"Kenapa Ayah nggak coba untuk bujuk Mama lagi?"
Ayah tersenyum sendu. "Karena Ayah sudah begitu terlambat, Nak. Mama kamu kelihatan lebih baik setelah nggak bersama Ayah. Bagaimana bisa Ayah meminta Mama memulai sesuatu yang belum tentu akan membuatnya bahagia."
Aku hanya bisa diam.
"Kamu belum terlambat untuk memperbaiknya, Irene."
Benarkah, Yah? Kenapa aku merasa nggak ada lagi harapanku dengan Aldian.
"Aku liat dia pelukkan sama cewek di bandara," ceritaku dengan wajah tertunduk. "Dia kelihatan akrab banget sama cewek itu. Mungkin cewek barunya."
"Kamu cemburu, kan?"
"Ih, Ayah mah,"
Ayah tertawa berat. "Komunikasikan dulu ya, Nak. Siapa tahu kamu salah paham. Anak Ayah bukan orang yang suka mengambil kesimpulan sendiri, kan?"
Ayah selalu pintar menesahati orang lain. Namun hal itu nggak berlaku untuk dirinya sendiri. Setelah natal, Ayah menyuruhku pulang atas bujukkan Dira yang menelpon beliau. Seharusnya aku sudah menduga kalau Dira pantang menyerah. Dan pada akhirnya, here I am. Berdiri di bandara Ngurah Rai sambil menenteng koper. Tari menjemputku dengan mobil jeep. Ia terlihat begitu stunning dengan kulitnya yang kini sedikit kecoklatan. Aku yakin Tari sering berjempur selama di Bali.
"Welcome to Bali, Sis," sambutnya riang begitu turun dari mobil.
Aku tertawa kecil. "You look so stunning, Tar," pujiku langsung sambil memindahkan koperku ke jok belakang yang dibantu oleh Tar.
"Of course," Tari menyahut bangga setelah menutup pintu. Salah satu tangannya bersandar di pintu mobil sementara tangannya yang lain mengibaskan rambut ke belakang. "Elo nggak tahu udah berapa bule yang minta nomor gue tiga hari ini, hm?"
"Lucky you," cibirku seolah-olah iri.
Tari terkekeh, kemudian merangkulku. "So, that's why pretty, lupakan siapapun yang ada di dalam kepala lo sekarang," ia membuka pintu untukku, setelah aku masuk, ia mengedipkan matanya. "Let's have fun. Understand?"
Aku tersenyum kemudian mengangguk, "okay."
*
Villa yang disewa Lando dan Dira berada di kawasan Seminyak. Mempunyai lima kamar tidur sehingga tidak perlu rebutan untuk memilih kamar. Namun aku memutuskan ikut tidur di kamar Tari dari pada sendiri. Begitu sampai, kulihat Jonny tengah bermain ponsel di ruang tengah dengan muka bantal. Ia mengangkat tangan dan menyapaku. "Morning, Ir."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...