n i n e

11.8K 1.4K 112
                                    

Fenque adalah perusahaan website dan adversting yang menjadi impianku dan Dira setelah kami lulus kuliah. Aku lulus lebih dulu dari Dira—memilih untuk mencari pengalaman dengan magang di salah satu stasiun tivi selama 6 bulan. Sehabis masa magangku—aku mengapply ke Fenque bareng Dira yang sudah selesai wisuda. Kami berdua sangat senang karena diterima di perusahaan yang sama pada saat itu. Meski harus beda divisi, itu sama sekali nggak jadi masalah.

Aku sangat tahu Dira menyukai pekerjannya. Meski ia sering mengeluh tapi ia selalu bekerja secara maksimal. Pak Arya pun mengatakan kalau Dira salah satu karyawan favoritnya. Makanya, aku menawari Dira untuk balik kerja lagi. Sayang saja menurutku, kalau kemampuannya nggak ia gunakan lagi.

Pada saat Dira menghubungiku dan bilang ingin bicara. Aku agak panik. Bahkan Sinta, rekan kerja satu divisiku menanyakan keadaanku yang pucat pasi sehabis mengakhiri percakapan dengan Dira lewat sambungan telepon. Aku memaksa senyum dan bilang bahwa aku baik-baik aja pada Sinta.

Dira tidak memberitahuku hal apa yang ingin ia bicarakan. Sehingga ada dua kemungkinan di dalam kepalaku. Pertama, Dira mau membahas soal tawaran kerjanya. Kedua, bisa jadi ini soal...telponku pada Lando waktu di Bali. Aku menggigit bibir, menelisik dari cara bicara Dira, nada suaranya biasa aja, riang dan khas Dira sekali. Ini tidak mungkin soal telponku kan? Dira tidak mungkin tahu kan?

Alhasil, aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Sepulang ngantor, aku langsung melesat ke tempat kami janjian. Di restoran Itali daerah Kemang. Butuh waktu sepuluh menit buatku menyiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti. Setelah membuang napas panjang dan mengangguk seolah tengah meyakinkan diri sendiri, aku pun keluar dari mobil, memasuki restoran yang disambut ramah oleh pramusaji disana. Aku menyebutkan nama Dira yang memang sudah membuat reservasi terlebih dahulu. Pramusaji tersebut mengantarkanku ke meja paling pojok. Tempat yang cocok untuk mendapatkan privasi. Aku mengucapkan terima kasih setelahnya. Duduk dengan keringat yang mulai membasahi keningku. Lagi. Tempat yang di pilih Dira makin mengarah pada kemungkinan kedua.

Haruskah aku pulang dan mengatakan kalau aku tidak bisa datang? Toh, Dira belum sampai. Itu pengecut sekali, Irene. Sisi warasku mengingatkan. Aku meraih gelas air putih untuk mengurangi kegugupanku. Namun hal itu tidak ada gunannya saat aku melihat Dira yang berjalan di belakang pramusaji yang mengantarku tadi. Dia tersenyum saat matanya menangkap sosokku. Aku membalas senyumnya, berdoa semoga saja senyumku nampak alami. Dira sendirian...setidaknya aku berpikir seperti itu selama dua detik. Karena setelahnya, seorang cowok menyusulnya—Lando. Dan aku tidak bisa bernapas untuk beberapa detik.

Perasaan tak nyaman mulai menyelimuti kala kedua orang itu sudah di depan mejaku. Hatiku berdenyut melihat gimana Lando menarik kursi untuk Dira sebelum akhirnya menarik untuk dirinya sendiri. Tanganku terasa dingin sampai bikin aku mengepalnya dengan kuat.

"Sorry ya, Ren. Kami telat banget ya? Lo udah lama?" Tanya Dira saat meletakkan tasnya di meja. Menatapku dengan tampang menyesal.

Bibirku menyunggingkan senyum tipis. Barangkali sangat tipis. "Gue baru dateng kok."

Mati-matian aku tidak menggeser kepalaku sedikitpun ke arah kanan. Dimana kalau aku melakukan itu, hatiku pasti akan kacau.

"Udah pesen?" Tanya Dira lagi. Saat aku menggeleng, ia pun mengangkat tangan. Nggak lama seorang pramusaji datang. Dan mulai mencatat pesanan kami.

"Lo kapan balik dari Bali sih? Kok nggak bilang gue?" Dira membuka pembicaraan saat pramusaji itu pergi.

"Baru kok, "jawabku. "Oh ya, gue lupa bawa oleh-oleh buat lo. Masih di apart. Nanti gue go-send aja ya."

"Nanti gue ambil sendiri aja. Gue rencananya mau nginep di tempat lo malam ini."

Aku nyaris melotot. Membasahi bibir kemudian memandang Dira. Mencoba membaca apa yang ada dipikiran sahabatku sejak SMP ini. Nihil, entah otakku yang terlanjur beku atau sebenarnya aku memang tidak begitu mengenalnya dengan baik. Aku tidak bisa membaca apapun di balik matanya. Membuatku bertanya, sudah sejauh mana hubunganku dan Dira berjarak tanpa kami sadari?

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang