Kesiangan bukanlah gaya gue. Bisa dibilang, gue orangnya lumayan morning person. Kendati membenci rutinitas, gue mencintai pagi gue. Bangun pukul lima. Jogging. Breakfast yang diselepi membaca wall street, melihat e-mail, lalu baru kemudian berangkat ke kantor dan tentunya sebelum itu mampir ke starbuck buat take away hot americano. Klasik sih. Tapi gue suka melakukan itu. Akan tetapi ada yang beda dengan pagi gue hari ini.
Gue ingat kejadian semalam, tentu aja, soda nggak akan bikin gue tipsy. Gue hanya sedikit nggak menyangka kalau gue bisa ketiduran di tempat Irene. Jangan berpikir gue sengaja melakukan itu buat modus. Gue nggak sepecundang itu. Apalagi lima menit setelah gue bangun, suara pintu terbuka disusul dengan kemunculan Irene dari balik pintu kamarnya bikin gue jadi bingung harus berbuat apa. Yeah, lo nggak salah dengar. Seorang Aldian mendadak gagu ditambah sedikit salah tingkah di depan cewek.
Berbeda dengan gue, Irene malah melemparkan senyum sambil mengambil langkah ke pantry.
"Baru aja gue mau bangunin lo," katanya seraya meraih cangkir di dalam lemari kabinet. "hot chocolate or tea?"
"Coffe."
"Lo tahu gue nggak minum kopi, Al."
"Ah, ya," gue meringis, mungkin efek baru bangun tidur. Kepala gue belum dapat bekerja secara maksimal. "Tea, please."
Irene mengangguk dan mulai sibuk meracik minuman sementara gue mengedarkan kepala, kembali mengamati apartemen Irene. Nggak ada yang berubah. Of course. Memang perubahan apa yang bisa terjadi dalam jangka waktu dua minggu. Gue pun menurunkan kaki ke lantai, mendekat ke kitchen island—bertepatan dengan Irene yang mengasurkan teh buatannya pada gue.
"Masala chai." Lontar gue setelah mencicipi teh tersebut.
"It's good for your health," beritahu Irene seraya mengambil duduk di samping gue.
"Lo mengingatkan gue dengan Mami," ungkap gue yang mengundang kernyitan di dahi Irene. "Mami gue sama kayak lo. Suka masak. Nggak bisa minum kopi juga."
"Dan menjadikan teh sebagai alternatif?"
Gue tertawa. Padahal nggak ada yang lucu. Hanya aja, mood gue bagus pagi ini. "I don't think so, Mami kayaknya nggak punya makanan favorit atau lebih tepatnya dia sibuk mengurusi makanan buat kami daripada buat dirinya sendiri."
"She's a great wife and mother."
"Indeed," balas gue kemudian mengangkat wajah. Memparhatikan Irene lebih lekat.
Saat ini, cewek itu sudah memakai setelan kantornya. Jeans, kaos, serta blazer kotak-kotak yang menjadi outfit sehari-hari Irene kalau ngantor. Sekilas aja gue bisa tahu kalau Irene bukan tipe cewek yang into fashion. Bukan berarti cara berpakaiannya jelek. Orang cantik mau pakai apapun pasti bakal tetap cantik. Hanya aja, dia memang suka yang simpel-simpel aja. Bahkan natural look-nya masih bikin gue terpesona.
"Sorry, gue nggak tahu gue bakal ketiduran." Tambah gue kemudian. Pagi-pagi sudah bikin terpesona aja nih cewek. "Kayaknya filmnya emang ngebosenin."
"Enak aja," Irene langsung protes. "Itu karena lo nggak nonton dari awal makannya bilang gitu."
"Is this an invitation to me to watch with you again?" Goda gue sambil menyeringai.
Irene memutar bola matanya. "Serah deh."
Gue tertawa. Lain halnya dengan Irene yang bangkit dari tempatnya dan mulai membuat sarapan. Sempat melemparkan olokkan kalau mungkin aja sarapan rakyat jelata sepertinya bakal berbeda dengan sarapan sultan kayak gue. Yang gue balas dengan. "I will still eat your food even if it can kill me, babe." Lagi-lagi Irene memutar bola matanya sambil berkata. "Well done, Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Chick-Lit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...