e l e v e n

13K 1.5K 71
                                    

Ayah bukan seorang koki tapi ia sangat handal memasak. Dari Ayahlah aku belajar bagaimana cara menggunakan alat dapur. Waktu tinggal hanya berdua dengan Ayah, biasanya kami akan bergantian memasak. Tidak pernah sekalipun kami melewatkan hal itu atau membeli makanan dari luar. Kebiasaan itu terterap hingga sekarang. Kecuali makan siang—sarapan dan makan malam aku selalu membuatnya sendiri.

Pun begitu, kemampuan memasakku masih pas-pasan. Sangat jauh kalau di bandingkan dengan Ayah. Makanya, sekalian meningkatkan skill, aku ingin mengisi weekend-ku dengan kegiatan produktif. Ini adalah hari pertamaku. Sabtu pukul empat sore merupakan jadwalnya. Terlampau semangat, aku datang lebih awal. Kupikir aku bakal terjebak sendirian di ruang tunggu, ternyata ada yang lebih bersamangat dariku. Seorang cewek tengah duduk manis di sofa sambil memainkan ponselnya. Menyadari kehadiranku, ia mendongak. Melemparkan senyuman ramah. "Hai, ambil kelas masak juga?"

Aku mengangguk sekaligus mengiakan pertanyaannya. Lantas menutup pintu dan mengambil tempat di samping cewek itu. Memperhatikan ruangan yang cukup luas. Ada pintu di sudut ruangan yang kutebak sebagai tempat kami memulai kelas hari ini.

"Baru pertama ikut cooking class?" Cewek itu bertanya—menarik perhatianku jadi beralih memandangnya. Dilihat lebih dekat, dia ternyata punya kulit yang sehat. Putih tapi tidak pucat. Sepertinya ia blasteran karena hidungnya mancung banget. Aku suka cara berpakainnya, santai dan anggun. Celana kulot Zara dipadu dengan white blouse. Rambut panjangnya pun ia kepang rapi seakan sudah sangat mempersiapkan diri untuk kelas hari ini.

"Iya. Kamu?"

"Ini pertemuan ketigaku." Jawabnya kemudian meletakkan ponsel yang ia pegang ke pangkuannya dan menjulurkan tangan padaku. "Ah, ya, Jiara."

"Irene." Aku balas menyalaminya.

Jiara tersenyum. "Kamu cantik." Pujinya sambil menatapku lekat.

Aku yang nggak nyangka dengan pujian dadakkannya, tentu jadi sedikit kaget. Lantas hanya bisa membalas dengan kalimat. "Terima kasih. You're pretty too."

"Kamu model ya?" Tanya Jiara dengan tampang penuh keingintahuan.

"Bukan."

"Oh, aku kirain model." Sahut Jiara. "Habis kamu cantik banget."

Aku tersenyum.

"Kamu kenapa ikut cooking class?" Sepertinya Jiara ini tipe orang yang punya keingintahuan cukup tinggi. Nggak terlalu masalah, dari mata Jiara aku bisa merasakan ia memang hanya penasaran. Tidak ada maksud buruk. Lagian tidak ada salahnya, daripada kami hanya diam-diaman.

"Pengin ningkatin skill sekalian ngisi weekend dengan kegiatan positif. Kalau kamu?"

Pipi Jiara langsung bersemu. "Well, anggap aja persiapan untuk jadi istri dan Ibu yang baik."

Oh, dia mau nikah. Simpulku sendiri. Aku tersenyum kemudian mengangguk. Kami pun akhirnya terus mengobrol sembari menunggu kelas dimulai. Jiara bekerja sebagai sekertaris di Nugraha Group. Entah ini kebetulan atau apa, aku jadi teringat Aldian saat Jiara menyembutkan tempat kerjanya. Sudah seminggu sejak hari itu berlalu. Hingga kini, kami belum bertemu lagi. Aku pasti sudah gila karena bilang akan mempertimbangkan tawarannya. Seharusnya aku langsung menolak kemarin. Mungkin efek dari kerapuhanku, jadi aku sempat tergiur dengan tawaran Aldian. Meski cowok itu memang orang yang menyenangkan—terbukti dari gimana aku yang dengan gampangnya mengungkap hal yang paling nggak ingin orang mengetahuinya padanya—tetap saja, Aldian bukan tandinganku. Aku tidak sesuai dengan dunianya.

Kukubur rasa penasaran itu untuk nggak bertanya lebih spesifik soal Jiara bekerja sebagai sekertaris siapa. Lagian, Jiara nampaknya cukup cermat. Ia pasti curiga kalau aku tiba-tiba menanyakan itu padanya.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang