t h i r t y

14.2K 1.6K 275
                                    

I got karma. I know that. Mungkin kalau Claudia tahu, ia pasti kini sedang duduk di sofa apartemennya, menatap city view Jakarta dengan segelas wine di tangan lalu tersenyum puas bersama dengan monolog; EAT THAT, AL!

Gue sama sekali nggak berencana jatuh hati pada Irene. Well, gue memang tertarik karena dia punya wajah yang jelita, ekspresi yang menggemaskan, serta senyum yang manis—namun, apakah semua itu cukup untuk bikin seorang Aldian Nugraha Alden jatuh hati? Of course, no. Gue nggak semurahan itu. Gue butuh lebih dari itu. Dan setelah gue berinteraksi dengan Irene, gue mendapati kalau dia memang berbeda.

Bukannya mau sombong, sepertinya lirik lagunya the 1975 yang berjudul A Change Of Heart; finding a girl who is equally pretty won't be hard. Yeah, untuk Aldian mendapatkan cewek cantik bukan hal yang sulit. Yang gue pun nggak butuh effort sebesar ini untuk menjadikan cewek itu milik gue. Sayangnya yang gue mau bukan mereka. Melainkan dia. Cewek yang kini mengigit bibirnya dengan tampang cemas.

Ingin banget gue merengkuh tubuhnya dalam pelukkan gue dan mengatakan semuanya akan baik-baik aja. Alih-alih begitu, selama di perjalanan dan gue berusaha menenangkan dia lewat genggaman tangan—baru lima detik tangan gue mengenggam tangannya, Irene sudah menarik tangan gue lalu memberikan senyum penuh arti. Bagaimana kondisi hati gue? Ugh, I hate say this. Tapi gue merasa ada yang perih saat Irene melakukan itu.

Akan tetapi itu belum apa-apa. Gue nggak akan menjadi munafik, sejujurnya gue nggak peduli dengan kondisi Dira sama sekali. Don't judge. Empati gue memang minus. Apalagi untuk orang yang nggak begitu terlibat dalam kehidupan gue. Satu-satunya gue khawatiran hanya dia. Iya, cewek yang sekarang seperti lupa siapa yang mengantarnya ke rumah sakit dan malah main ngeloyor keluar begitu aja kala mobil gue selesai di parkirkan. Iya, nggak apa-apa, Irene. Gue maklumin karena lo lagi cemas. Namun, begitu gue menyusulnya yang gue dapatkan malah dia mengkhawatirkan orang lain.

Mencemaskan cowok lain lebih tepatnya. Cowok berkoas hitam yang duduk di salah satu kursi yang berjejer di lorong rumah sakit dengan kepala tertunduk serta tangan yang menyatu di atas pangkuan. Irene melangkah pelan mendekati cowok itu, menyebut namanya lirih sehingga cowok itu menoleh dengan wajah kusut bercampur dengan kecemasan yang begitu kentara. Bahkan gue bisa melihat matanya memerah seperti sedang menahan tangis. Irene duduk di samping cowok itu, mengusap punggungnya lembut tanpa bicara apapun.

Mau lihat adegan cowok pecundang nggak? Anyone who waiting for my destruction is welcome to laugh. Karena cowok pecundang itu adalah gue. Aldian Nugraha Alden adalah pecundang. Dia hanya mampu berdiri menyaksikan bagaimana cewek yang ia cium penuh cinta demi membuat cewek itu percaya akan perasaannya dan kini menatap cowok lain dengan pandangan yang selalu gue tunggu ia akan menatap gue. Bahkan dia nggak lagi peduli dengan gue karena yang dia lihat sekarang cuma cowok itu. Iya. Cuma cowok itu. That fucking lucky bastard.

Bodohnya gue, iya, gue memang bodoh. Yang gue lakukan justru menunggu dia meskipun dia sudah lupa kalau Aldian Nugraha Alden masih menghirup udara yang sama dengannya. Berdiri di tempat yang nggak terlalu jauh darinya hingga berjam-jam lamanya. Menunggu ruang operasi terbuka dan dokter muncul dari sana. Sampai keluarga Dira tiba, sampai cewek yang gue ingat bernama Tari juga tiba. Cewek itu menatap gue sejenak—mungkin kaget menemukan gue ada disini—lalu beralih pada Irene yang menceritakan sebab kejadiannya yang ia dengar dari cowok itu. Intinya Dira mengalami kecelakaan mobil. Mobilnya ditabrak dari belakang dan sekarang lagi di operasi. Gue masih disana. Di saat semua orang mencemaskan keadaan Dira, yang gue pikirkan cuma elo, Irene. I'm bad, I know.

"Sebaiknya kalian berdua pulang aja, besok mesti ngantor, kan?" gue mendengar cowok itu berkata pada Irene dan Tari.

Irene menggeleng. "Tapi, Lan..."

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang