"Hey, pretty,"
Gue suka hal yang sederhana. Dan membuat semuanya menjadi sederhana adalah keahlian gue. You know, hidup itu sudah ribet tanpa harus kita membuatnya ribet sejak awal. Makanya, ketika gue nggak bisa mengutarakan apa yang sebenarnya gue rasain pada Irene, gue stress banget. Okay, terdengar hiperbolis karena gue menambahkan kata 'banget', but, despite all that, I think speak what's on your mind isn't rude anymore. Selama ini, itu yang gue lakukan pada date gue atau pada siapapun. For me, telling the truth and making someone cry is better than telling a lie and making someone smile.
Terbukti, segala negative thought yang sempat membikin gue menahan kalimat 'Damn it, woman. I didn't just be friends with you' sama sekali nggak kejadian. She's stay. Dia bersama gue. Gue nggak perlu menahan keinginan untuk memeluknya, menyentuh wajahnya, mencium bibirnya, gue bisa melakukan semua itu dan Irene nggak keberatan
"Udah minum obat?" bahkan gue bisa menikmati wajah cemasnya kala ia datang ke apartemen gue di hari sabtu, di waktu sore. Nggak ada ekspresi jengah serta putaran bola mata seperti biasa yang ia lakukan ketika gue mulai menyapanya dengan panggilan itu. God, baru kali ini gue bersyukur diberi kondisi tubuh yang nggak sehat. I'm crazy, right?
"Gue nggak butuh obat kalau lo udah ada disini," gue membalas dengan jawaban super cheesy. So, what? Who cares?
"Aaal," Irene nampak gemas, "gue serius."
Anybody, can you tell me how not to kiss the girl in front of me now? The answer is no one can. Karena sekarang gue sudah menarik pinggangnya dan memberi lumatan pada bibirnya. Membawa tubuhnya masuk ke dalam apartemen gue tanpa melepaskan ciuman tersebut.
"Al, this not right time to doing this," sungutnya setelah mendorong bahu gue dan ciuman itu pun berakhir.
Bibir gue mengulas senyum miring. Menyentuh sisi wajahnya dengan jari-jari gue. "So, when is that the perfect time, babe?"
"Nyesel gue nyamperin lo." Ia menukas sebal dengan bibir mencebik lucu.
Gue bukan laki-laki manja. I'm 29 years old. Bukan lagi bocah yang bakal ngerengek minta di kelonin pas lagi sakit. Lagian ini cuma demam. Kerjaan sinting membikin gue kehilangan waktu istirahat. So, gue sudah memprediksi kalau gue bakal sakit sejak tiba di Jakarta kemarin. Setelah pulang dari apartemen Irene semalam, gue memang ngerasa kurang enak badan. Paginya, badan gue panas dan sempat muntah. Jadi gue putuskan untuk beristirahat dengan tidur sampai sore. Yeah, I know, seharusnya gue minum obat dan menelan sesuatu yang bisa dimakan. Akan tetapi tubuh gue terlalu lemas untuk melakukan itu. Hingga Irene menelpon gue buat menanyakan soal dompetnya yang mungkin aja tertinggal atau jatuh di mobil gue—belum selesai gue menjawab, Irene memotong dengan nada panik. "Al, lo sakit?"
Dan begitulah, kenapa cewek itu sekarang ada di hadapan gue. Melongoskan wajah sembari menarik tangan gue dari pinggangnya. Namun gue langsung menahannya, Irene memberi gue pelototan yang gue balas dengan senyum miring seraya menekan punggungnya lalu gue bawa ke dalam sebuah pelukkan. Mata gue terpejam. Dengan wajah yang gue benamkan di ceruk lehernya.
Sejak Papa dan Mama bercerai, kemudian Mama membawa Adrian ikut bersamanya, gue jadi terbiasa mengurusi diri gue sendiri. Papa mungkin berusaha secara maksimal memberikan sedikit waktu di sela-sela kesibukkannya untuk bermain dengan gue. Namun, yeah, honestly, waktu gue lebih banyak dihabiskan dengan Almarhum Bi Sumi—ART yang bekerja dengan Papa sejak Papa bayi—kehilangan Bi Sumi salah satu pukulan besar dalam hidup gue. Sampai akhirnya Papa menikah dengan Mami—dimana Mami benar-benar baik menjalankan perannya sebagai seorang Ibu—gue tetap menjadi Aldian yang sama. Gue sudah terlalu terbiasa mengandalkan diri gue sendiri dalam berbagai hal. Apalagi sejak SMA gue memilih untuk tinggal sendiri. Lalu kuliah pun, gue mengambil pendidikkan di luar negeri. So, I believe, I don't need someone in my life.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Chick-Lit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...