n i n e t e e n

11.3K 1.5K 164
                                    

"See? Lo masih berkeyakinan kalau dia menganggap elo hanya temen?"

Itu komentar Tari ketika ikut membaca chat yang dikirimkan Aldian. Saat ini kami sedang brunch di kantin kantor. Pekerjaan Tari lumayan hetic—bisa dimengerti, kliennya kali ini cukup banyak mau. Awalnya, kukira ia akan lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya daripada brunch bersamaku. Nyatanya, Tari tetap Tari. Ia nggak mau menjadi kancung karpet yang menyiksa diri. Berbeda denganku yang ambisius dalam karir—yang akan memilih menyelesaikan pekerjaan dari pada makan—Tari nggak terlalu peduli soal itu.

Aku hanya membalas ucapan Tari dengan senyum tipis lantas menyimpan ponsel setelah membalas chat dari Aldian. Apa aku memang terlalu naif? Berkeyakinan kalau kami bisa menjadi teman?

Aku tahu beberapa kali Aldian sengaja touchy denganku. Mencuri-curi kesempatan agar bisa menyentuhkan. "Eh, bentar, ada sesuatu di pipi lo," katanya lalu mengulurkan tangan untuk mengusap pipiku. Sometimes, dia mengenggam tangan atau pinggangku di keramaian. "Takut lo ilang," katanya dengan senyum player andalannya. Tapi karena ia hanya melakukan sebatas itu dan nggak pernah lebih dari itu. Kupikir dia memang biasanya seperti itu pada semua teman ceweknya.

"Jadi lo bales apa?" tanya Tari lagi karena aku nggak menjawab pertanyaannya yang tadi.

"Gue hari ini udah janji sama sepupu gue. So, I said, no."

"Jadi, kalau nggak ada janji, lo bakal say 'yes'?" serang Tari yang bikin aku terdiam. "I know this your life, Ren. But, i guess, you deserve someone better. Just, jangan sampai lo lepas dari mulut harimau malah masuk ke mulut buaya."

"I don't like him in romantic way, Tar."

"Terus?"

"I just want us to be friends."

Tari memutar bola matanya. "Dia nggak nganggep lo teman, Ren. He wants to fuck you."

"But he didn't."

"Not yet." Koreksi Tari.

Ucapan Tari cukup menggangguku hingga aku sampai di grand launching restoran pacarnya Samantha—sepupuku. Samantha merupakan Kakak Shannon. Ia kuliah di UNY lalu baru dua tahun ini bekerja di Bank Internasional di daerah SCBD. Berbeda dengan Shannon yang ekstrovert, Samantha sama sepertiku. Kami sama-sama canggung saat bertemu orang baru. Makanya, daripada berbaur dengan yang lainnya, aku dan Sam justru lebih memilih duduk berdua di outdoor sambil menceritakan kehidupan masing-masing.

Hingga perhatianku yang terfokus pada cerita Sam terdistraksi oleh kemunculan seseorang.

Aku termasuk orang yang cukup handal mengendalikan ekspresi. Di situasi ini pun, aku mampu bersikap setenang mungkin. Kendati aku bisa merasakan mata cowok itu yang nggak berpaling dariku sedetik pun. Namun aku tetap memasang senyum ramah kala tanganku berpindah padanya.

"Irene."

Cowok itu—Aldian, menatapku lekat. Tatapannya selalu mampu bikin siapapun terintimdasi. Termasuk aku yang masih memainkan peran sebagai stranger. Lalu setelah hampir sepuluh detik ia memperhatikanku dalam-dalam, uluran tanganku ia sambut. Tangan besar itu membalut tanganku begitu erat—yang bikin aku tersentak dan menelan ludah tanpa sadar. Apalagi saat mataku turun ke bawah, aku jelas melihat urat di punggung tangannya. Aku baru sadar, kalau banyak hal menarik dari Aldian yang kulewatkan. 

"Aldian." Katanya dengan suara berat dan dalam.

Aldian bukan hanya sekedar ganteng. I know that. Dia punya karisma yang bikin cewek manapun bisa meleleh. Seharusnya aku nggak perlu kaget apabila mendapatinya bersama dengan cewek lain hari ini—setelah siang tadi ia mengajakku berkunjung ke apartemennya—he's a player. Tentunya, aku bukan satu-satunya cewek yang ada di whatsAppnya. Cowok kayak Aldian pasti whatsAppnya sudah mirip asrama putri.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang