t w e n t y t w o

12.9K 1.5K 228
                                    

Suatu hari, di salah satu obrolan random gue bersama Karenina—gue nggak terlalu ingat reason kenapa kami bisa membahas itu—yang pasti kami pernah mencoba menganalisis alasan seseorang nggak mau berkomitmen. Which is, sampelnya adalah gue. Menurut Karenina alasannya tentu bakal beragam. Bisa trauma, trust issue, lingkungan, atau yeah, memang cowok itu brengsek aja yang pengin get laid sama banyak cewek tapi nggak mau tanggung jawab. Dan kata Karenina, gue ada di point terakhir.

Karenina adalah satu-satunya cewek yang benar-benar gue anggap sebagai teman. I mean, not even once, gue pernah mikir jorok tentang dia. Mungkin karena gue tahu dia off limit. But I guess, meski Karenina nggak sama Teo sekali pun, gue nggak yakin bakal interest sama Karenina. Bukan karena dia nggak menarik. Karenina is amazing. Just, she's not my style. Dia terlalu blak-blakkan. Sama kayak Jia. Cewek-cewek seperti itu biasanya hanya akan berakhir jadi lawan nyolot gue alih-alih lawan di ranjang.

Gue nggak pernah take serious soal semua ejekkan atau sindirian yang kerap kali di lontarkan oleh Karenina atau Jia. Mungkin bagi mereka cowok yang nggak mau berkomitmen kayak gue adalalah pecundang, brengsek, bangsat, whatever you want to call it. Gue sudah melewati fase untuk mencari pembenaran atas diri gue. So, pendapat orang lain nggak akan mempengaruhi gue lagi. Bagaimana gue menjalani hidup sekarang—yang mana gue sama sekali nggak kepikiran untuk in relationship—bukan sesuatu yang salah menurut gue. Don't judge. Hidup seseorang akan selalu menjadi hidupnya. Nggak ada yang berhak mengatur hidup orang lain, right?

Tehitung enam bulan gue dan Irene dekat dengan status teman ini. Gue bertanya-tanya kenapa gue malakukan ini? Jelas gue tertarik pada Irene lebih dari teman. Gue nggak pernah menganggap dia seperti Karenina. Selama sebulan kemarin gue berpikir kenapa gue melakukannya? And then,  I found it, I like her. Not just because I wanted to take her to my bed. But also, I enjoy when I was with her. So what's the point? Irene berbeda dengan cewek-cewek yang sebelumnya dekat dengan gue. Dia nggak akan mau menjalani no string attacthed relationship. Jonny was right. Irene very consistent.

Terus untuk apa gue masih membuang waktu dengannya? Sudah jelas gue dan Irene menganut prinsip yang berbeda. Gue memang suka Irene. Namun bukan berarti gue goyah dengan prinsip gue untuk nggak terikat dengan cewek manapun. Kayaknya perasaan gue belum sedalam itu buat dia. Kalau tahu sudah begitu, seharusnya gue menjauh dari cewek ini dan kembali ke Aldian yang biasanya. Aldian brengsek seperti yang dikatakan oleh Jia. Bukannya begitu, gue malah terus penasaran dengan perasaan Irene pada gue.

Kerap kali gue bertaruh dengan diri gue sendiri—for example, ingat kejadian Irene yang bersikap layaknya stranger waktu dia ketemu gue bersama Shalendra? Gue suka mengobservasi gerak-gerik orang. Terkhususnya Irene yang memang tipe senang bersembunyi di balik topengnya. Dia kayak kata sandi yang ingin gue pecahkan. Gue mencari sepercik kecemburuan dari matanya ketika ia berkata Shalendra kelihatan so into me. Nihil, gue nggak menemukannya. Atau saat kami tanpa sengaja bertemu dengan Cindy—salah satu cewek yang pernah no string attached sama gue—yeah, so many girls di hidup gue, gue nggak akan mengelak—Irene lagi-lagi biasa aja. I realize, She genuinely thinks of me as just a friend.

Damn, I like somone who doesn't like me back. Apa ini yang dinamakan karma?

Seharusnya gue berhenti sama disini. Seorang Aldian mana mau jadi pecundang. Shit, gue memang pecundang.

"So, lo mau masakin gue apa malam ini?" Bahkan gue nggak bisa menahan bibir gue menyunggingkan senyum norak ketika melamparkan pertanyaan itu pada Irene. Dua hari yang lalu kami membahas soal Jia. Irene bilang keahlian memasak Jia berada satu level di atasnya. Tentu gue nggak percaya, bagaimana bisa sepupu gue itu jago? Sepertinya keahlian satu-satunya Jia cuma sarkasin gue.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang