Sekali lagi, gue berusaha untuk fokus membaca dokumen yang ada di hadapan gue. Memberikan perhatian penuh pada setiap kata demi kata yang tertulis disana. Namun nihilnya, gue sama sekali nggak bisa berkonstrasi dan malah berakhir mendesah panjang sambil mengusap wajah kasar. Shit. Benar-benar shit. Empat hari berlalu sejak kejadian malam itu. Gue bisa mengerti bila Irene meminta waktu untuk berpikir. Mungkin memang terlalu mendadak untuknya. So, gue mengiakan, memberikan kartu nama gue agar dia bisa menghubungi gue kalau dia sudah punya jawaban.
Hari pertama berlalu, gue masih melewatinya dengan biasa aja. Hari kedua berlalu, gue mulai mengecek ponsel lebih sering dari biasa yang gue lakukan. Hari ketiga adalah hari dimana gue begitu percaya diri akan mendapatkan jawaban dari Irene. Karena hanya sampai batas itu biasanya cewek menyerah buat bersikap sok jual mahal sama gue. Ternyata prediksi gue meleset. Hingga memasuki hari keempat gue menjadi resah nggak keruan.
"Bapak mau saya pesankan kopi?"
"Udah gue bilang jangan panggil gue Bapak." Tukas gue tanpa menoleh pada Jia yang sedari tadi menunggu gue mentandatangani dokumen yang di bawanya. "Gue bukan Bapak lo."
"Betul. Tapi sekarang masih jam kantor. Jadi saya harus tetap bicara sopan dengan Bapak." Sahutnya dengan menekan kata 'Bapak'.
Gue mengeram sebal lantas mengangkat kepala dan menatap Jia yang memasang wajah tanpa ekspresi. "Lo pasti sengaja karena mau bikin gue tambah kesal, kan?"
"Mana mungkin, Pak." Kilah Jia sambil senyum sok manis. "Tanpa melakukan itu pun Bapak sudah terlihat sangat kesal sekarang. Jadi saya tawarkan untuk memesankan Bapak kopi. Bapak sepertinya kurang tidur hari ini."
"Karena gue terlihat sangat kesal sekarang jadi lo jangan coba-coba memancing emosi gue, Ibu Jia." Serang gue balik. Menekan kata 'Ibu'.
"Saya nggak mungkin mancing emosi, Bapak. Sepertinya Bapak salah paham dengan niat baik saya."
"Jiara."
"Iya, Pak?"
Gue membuang napas. Melarikan mata ke arloji yang menunjukkan pukul lima yang artinya jam kantor telah berakhir lantas menunjukkannya pada cewek itu. Jia yang melihatnya langsung merubah ekspresinya. Tanpa diperintah, cewek itu sudah duduk di kursi di hadapan gue.
"Kenapa lo? Kurang belaian sehabis buang temen gue?" Ucap Jia dengan nada penuh sindiran sambil melipat tangan di depan dada. Hilang sudah sikap sok profesionalnya. Yang ada hanya Jiara Nasution. Sepupu yang kata-katanya lebih tajam daripada pisau yang baru di asah. Nggak heran Papa memilih Jia untuk jadi sekertaris gue. Jia bukan tandingan gue dalam berkata pedas.
"Tanpa temen lo gue tetap bakal dapat belaian dari cewek mana pun yang gue inginkan."
"Lucky you." Cemoohnya dengan bola mata memutar.
Saat tahu kalau gue dan Claudia telah berakhir. Jiara langsung menerobos ruangan gue untuk memuntahkan sumpah serapah. Gue mengenal Claudia memang dari Jia. Sebenarnya itu pertemuan yang nggak disengaja. Waktu itu Jia ikut gue meeting di sebuah restoran, yang kebetulannya Claudia adalah owner-nya. Mereka dulu satu kelas saat SMA. Putus komunikasi karena Jia melanjutkan sekolahnya di Sydney. Di sanalah gue berkenalan dengan Claudia.
"How is she?" tanya gue santai sambil menyadarkan kepala pada kursi dengan mata terpejam.
Jia mendengus. Pun begitu ia tetap menjawab. "Nggak parah. Gue cuma harus nemenin dia mabuk tiga hari berturut-turut. Beruntungnya dia, cowok brengsek yang mencampakkan dia ngasih gue black card yang bisa gue gunakan secara bebas untuk menghibur cewek yang udah dua bulan menghangatkan ranjangnya. Dermawan sekali, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...