t h i r t y n i n e

13.2K 1.6K 462
                                    

"Undangan lagi, undangan lagi, orang-orang kok pada kawin semua sih, Mbak?" keluh Jihan begitu divisi kami mendapatkan undangan pernikahan dari Gilang—anak divisi Produksi. Sejak tadi pagi, selalu itu saja yang menjadi bahan pembicaraan Jihan. Bahkan ketika sedang break di pantry kantor, lagi-lagi, ia mengeluhkan hal yang sama.

Mbak Yura yang duduk di sebelahku hanya dapat tertawa kecil. "Kalau udah ketemu jodohnya ya mau gimana lagi, Han."

Aku mengangguk menyetujui setelah menyeduh kopi di mug.

Jihan membuang napas berat. Mengembungkan pipinya. "Ya, tapi kok orang-orang pada gampang gitu ketemu jodohnya ya, Mbak. Aku aja udah dua puluh dua tahun hidup masih belum pernah ngerasain yang namanya pacaran. Sedih nggak sih, Mbak?"

"Malah bagus nggak pernah pacaran." Mbak Yura kembali menanggapi bijak. "Kamu jadi nggak perlu ngerasin patah hatinya putus cinta."

"Tetap aja, Mbak. Aku miris banget sama diriku. Apalagi divisi kita yang jomlo cuma aku. Mbak Irene sekarang udah punya pacar. Pasti bentar lagi juga nyebar undangan nih."

Kali ini aku angkat bicara ketika namaku diseret. "Undangan apa? Hubunganku belum nyampe sana, Han."

"Kan cepat atau lambat pasti nyampe sana, Mbak." Balas Jihan. "Eh, tapi, Mbak. Kalau misalnya Mbak beneran nikah sama kembarannya Mas Ad, Mbak masih kerja, kan? Secara gitu keluarga Nugraha kaya banget. Mbak udah bisa masuk geng sosialitanya Nia Ramadhani tuh."

Kepalaku menggeleng kecil. "Kamu mikirnya kejauhan, Han. Kan belum tentu jodohku dia. Lagian sama siapapun nanti, aku maunya tetap kerja. Ya nggak, Mbak, Ra?" kulirih Mbak Yura meminta dukungan. Mbak Yura salah satu panutanku. Meski sudah berkeluarga, Mbak Yura tetap bekerja. Bukan hanya untuk membantu suaminya. Melainkan juga untuk dirinya sendiri.

Mbak Yura mengangguk. "Jadi Ibu Rumah Tangga aja nggak ada salahnya kok. Tapi kalau bisa jadi keduanya, kenapa nggak? Lagipula, mau nikah atau nggak, buat Mbak, perempuan tetap harus bisa mandiri secara finansial."

Aku tersenyum lantas kembali menyeduh kopiku. Pernikahan tentu bukan lah hal yang mudah untuk diputuskan. Apalagi untukku yang cukup berhati-hati dalam mengambil keputusan. Aku jarang sekali implusif. Meski hubunganku dengan Aldian tentu bukan lagi hubungan yang main-main—nggak berarti juga aku ingin kami buru-buru menikah.

Setelah Aldian berkenalan dengan keluargaku, Mama mulai sering menelpon dan menanyakan kapan kami akan lebih serius. Aku sudah tahu hal ini akan terjadi sejak di Bali. Di umurku, memang hal wajar apabila itu ditanyakan, hanya saja, hubunganku dengan Aldian masih seumur jagung, dan menilik dari pertemuanku dengan Romeo dan Pricilia kemarin, aku sadar kalau ada hal yang mesti aku pertimbangkan lagi.

Mungkin hubunganku dengan Aldian nggak akan sesulit hubungan Romeo dan Pricilia dalam mendapatkan restu, tapi, lingkungan kami jelas jauh berbeda.

"Nggak peduli seidealis apapun gue, ketika gue sudah memutuskan untuk hidup sama Rome, gue harus bisa menyesuaikan diri sama lingkungannya." Itu yang Pricilia ucapkan ketika kami duduk di balkon rumahnya dengan sebotol wine. Sementara Aldian dan Romeo lagi main tenis meja di mini garden rumah Pricilia dan Romeo.

Aku dan Pricilia berasal dari keluarga yang cukup mampu. Namun apabila disandingkan dengan keluarga Aldian atau Romeo, jelas kami nggak ada apa-apanya. Kehidupan mereka tentu nggak sama dengan kehidupan kami. Aku nggak pernah memusingkan soal merk pakaian apa yang kupakai, bahka terakhir aku shopping adalah satu tahun yang lalu. Sementara untuk kalangan Aldian, apa yang mereka pakai, apa yang mereka lakukan, bahkan apa yang mereka makan akan sangat diperhatikan. Seperti yang Pricilia bilang, mungkin sekarang aku belum merasakan karena hubunganku dengan Aldian masih baru. Akan tetapi akan ada masanya ketika Aldian membawaku ke lingkungannya, dan pada saat itu, aku akan sadar kalau kami memang hidup di dunia yang berbeda.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang