Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Aku menyadari sikap dingin Aldian pada Randu. Yang membuatku sedikit merasa nggak enak pada Randu. I know, he's jealous. Tapi kurasa meskipun ia cemburu, nggak seharusnya Aldian menampakkan ketidaksukaan secara terang-terangan. I mean, aku dan Randu nggak punya hubungan apa-apa. Well, kami memang pernah dekat. But, I'm with him now. Setidaknya ia bisa sedikit lebih ramah.
Sedari pagi mood-ku memang nggak begitu bagus. Untuk kesekian kalinya aku harus mendengar cibiran orang-orang yang skeptis dengan kerjaku. Belum lagi deadline desain yang mepet banget. Satu-satunya hal yang membuatku bersemangat adalah menghabiskan waktu bersama Aldian. Supaya saat begadang mengerjakan desain nanti, aku nggak berakhir bengong karena otakku terlalu mumet ditambah susana hati yang buruk. Namun sepertinya semuanya nggak berjalan seperti yang kuinginkan. Tindakkanku yang mendiaminya justru bikin kami berdua sama-sama mudah terpancing emosi.
"Come on, kamu diamin aku karena aku ketus sama mantan TTM'an kamu itu?" aku berusaha untuk nggak memutar bola ketika mendengar nada bicaranya yang terdengar jengkel. Napasku terhela dengan langkah kaki menuju pantry sementara Aldian menyusul di belakang.
Seperti yang kuduga. Perbedaan kami dalam menyelesaikan masalah akan menjadi konflik. Aldian tipe yang harus selesai hari ini juga. Sementara aku tipe yang nanti dulu. Mengetahui ia nggak berhenti di depan lobi dan malah mengarahkan mobilnya ke basement, aku sudah menebak kami akan bertengkar.
"Irene," ia meraih tanganku, membuatku berbalik menghadapnya. Matanya menggelap dengan rahang yang mengeras. Untuk sejenak, aku menelan ludah gugup.
"Jadi kamu sadar kalau sikap ketus kamu itu nggak banget?" aku menatapnya. Melawan intimidasinya. Meski di dalam hati aku cukup degdegan.
"Nggak banget?"
"Kamu ketus sama Randu hanya karena dia mantan TTM'an aku. Al, kamu sendiri yang bilang we are not kids anymore. Dan kamu cemburu hanya karena hal remeh kayak gitu?"
Aku tahu ucapanku akan membuat perdebatan ini makin melebar. Hanya saja aku nggak bisa menahan diri melawannya yang suka bersikap semaunya. Pembelaan lainnya, suasana hati serta otakku sudah nggak baik sejak pagi tadi.
"He still likes you. Dan kamu nggak memperkenalkan aku sebagai pacar kamu," Aldian berucap dengan nada tajam. Begitu pun matanya yang menatapku lekat. Bahkan kurasakan tangannya yang mencengkalku mengetat kuat. "Sekarang kamu masih berpikir itu hal remeh?"
"Really, Al? Kamu begini karena itu?" sepertinya aku memang cari masalah. "Kalau memang Randu masih suka sama aku, apa itu jadi pembenaran buat kamu bersikap ketus kayak tadi?"
"Kamu bela dia?"
"Aku akan bela siapapun yang nggak punya salah apa-apa dan mencoba ramah tapi malah dibalas jutek."
Sudut bibir Aldian menungkit, mengukir senyum sinis. Buat egoku makin tersentil. "Kayaknya hubungan kamu sama dia lebih dalam dari yang aku duga ya."
Bola mataku membulat. Memandangnya nggak percaya. "Kamu makin ngaco tau nggak. Sekarang kita bahas masa lalu?"
"Aku nggak coba bahas masa lalu kamu sama dia."
"Terus apa, Al?" aku membuang wajah sekilas sebelum kembali menatapnya. "Let me tell you, aku sama Randu nggak ada hubungan apa-apa. Lagian sedalam apapun hubungan aku sama Randu dulu, itu cuma masa lalu. Dan tanpa aku bilang kamu pacar aku, sikap posesif kamu udah menjelaskan status kamu." Mataku meredup, memberi pengertian. "Aku sama kamu sekarang, Al. Nggak ada yang perlu kamu cemburuin dari Randu."
Aldian terdiam. Namun matanya nggak meninggalkan mataku. Kuhela napas sembari melepaskan tangannya dariku. "You better go home. Aku capek banget. Dan aku masih harus selesain pekerjaanku malam ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
ChickLit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...