Gue nggak suka bertele-tele. Begitupun dalam mendekati cewek. Pekerjaan gue sudah cukup sinting tanpa harus menambahnya dengan segala macam rangkaian normal date yang biasa dilakukan oleh orang-orang. Untuk gue, it's simple. I want you, you want me, let's have fun. Semuanya selalu semudah itu. Thanks for my handsome face—berkatnya, nggak ada satu cewek waras manapun menolak gue. So, gue asumsikan Irene nggak waras karena cewek itu jelas kehilangan akal sehatnya karena sudah menolak berlian di depan mata.
But, what the hell am I doing? I mean, shit, Aldian, I told you, clearly, you gotta get this girl out of your mind. Gue nggak mau menjadi seorang pecundang dengan mengejar cewek yang jelas-jelas not fucking interested in me. I'm done.
Gue nggak pernah chat dia lagi. Gue berusaha berhenti memikirkan dia. Bahkan kendati gue sempat goyah oleh satu pertemuan di Grand Indonesia—yang dimana gue menghabiskan waktu setengah hari bersama cewek itu—watching boring movie (Toy Story fans, dipersilakan menghujat gue, I don't care), berdebat dengannya di restoran favorit gue, menemaninya mencari novel di Gramedia, kemudian kami berpisah karena membawa kendaraan masing-masing. Gue tetap keras pada keputusan gue untuk meredam rasa ketertarikan gue pada Irene.
Lalu suatu hari, setelah satu bulan kami nggak pernah berkomunikasi, Irene tiba-tiba menghubungi gue. Bukan lewat chat, melainkan ia menelpon langsung. Gue masih ingat gimana suaranya yang jelas terdengar canggung dan gugup waktu itu.
"Hai, Al."
Kening gue mengernyit, tentu merasa aneh dengan panggilan yang nggak pernah terlintas di benak gue. "Hai,"
Dia berdeham pelan. "Em, maaf, saya ganggu kamu nggak?"
Gue nggak langsung menjawab. Memutar kepala ke arah pantry—dimana Shalendra lagi sibuk memotong buah setelah memilih wine. Well, malam itu, gue memang habis ngedate dengan Shalendra. Saturday night gue terlalu kelabu dan Shalendra mengajak gue ketemuan. And why not? Gue memang lagi kosong, kan? Kami menghabiskan malam di salah satu restoran di daerah Kemang. Ketika hari sudah cukup larut, gue pun mengantarkan cewek itu pulang. Guess what, dia mengundang gue mampir setelah kami berciuman di dalam mobil. Tentu, Shalendra sudah tahu cara main gue.
"...No," gue tahu ini berbanding terbalik dengan keputusan yang sudah gue ambil. Just, gue penasaran kenapa Irene tiba-tiba nelpon gue.
Irene menghela napas di tempatnya, bikin gue meraba-raba suasana hatinya. "Bisa ketemu?"
Okay, rasa penasaran gue kini semakin besar. Gue diam selama beberapa saat. Mungkin karena gue terlalu lama diam. Irene kembali membuka suara. "Kamu sibuk, ya? Maaf, kalau gitu lupain aja, say—"
"Wait, bukan gitu," gue memotong cepat lalu mengambil kunci mobil di atas meja tanpa pikir panjang langsung bangkit berdiri. "Lo dimana?"
"Starbuck Thamrin."
"Give me thirty minutes, I'll be there."
I know, I know, gue juga merasa kayak cewek labil. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalannya, bukan? Bahkan mengalahkan Shalendra yang jelas menawarkan kenikmatan malam itu.
Setiba gue di disana. Gue temukan Irene duduk di luar. Cewek itu lagi menekuri ponsel sebelum akhirnya ia mengadah dan menangkap sosok gue yang mendekat padanya. Seulas senyum tipis ia ukir, bukan jenis senyum antusias tapi kayak senyum...lega?
"Maaf ya, saya tiba-tiba minta ketemuan," ucapnya dengan ekspresi tidak enak kala gue mengambil tempat di depannya. "Saya udah pesenin kamu minum. Americano, kan?"
Gue mengangguk seenaknya. Meski hati kecil gue sedikit tersentuh karena dia mengingat gue memesan minuman itu tempo lalu waktu di GI. No, no, no....Al, jangan bilang lo baper? Oh, shit.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Think I'm Pretty
Chick-Lit[COMPLETED] Melupakan seseorang yang dicintai bukan persoalaan yang mudah. Setidaknya ia sedang berusaha. Pun bagaimana, Irene tidak bisa menyimpan perasaaan pada mantan pacarnya tersebut. Sebab, sekarang mantan pacarnya telah menikah dengan sahabat...