t h i r t y e i g h t

14.2K 1.6K 340
                                    

Jadi begini rasanya pergi ke suatu acara bersama pasangan. Well, not as bad as I thought. Gue harus mengakui kalau pergi dengan pasangan jauhhhh lebih baik dari pada pergi sendiri. Seenggak gue punya partner buat membantu menjawab pertanyaan basic yang suka di tanyain orang-orang. Pertanyaan pun berubah jadi 'kalian kapan nyusul?' bukan lagi 'lo kapan?' dan yang paling penting, gue merasa itu nggak terlalu menyebalkan karena gue bisa ikutan menggoda Irene dan menyambung. "Nah, Sayang. Udah ditanyain nih, jadi kamunya kapan siap aku lamar?" setelah itu Irene akan langsung mencubit pelan lengan gue sambil melotot sebal.

Dua minggu yang lalu gue menerima undangan dari Glen. Like we know, Glen pacaran dengan sepupu Irene. Mereka melangsungkan resepsi-nya di Bali. Irene nggak pergi bareng gue karena dia sudah berangkat lebih dulu bareng keluarganya. Actually, gue sedikit nervous karena ini menjadi kali pertamanya buat gue bertemu dengan keluarga Irene. NO, ini menjadi pertama kalinya gue bertemu dengan keluarga cewek. Dan ini bukan hanya Mamanya, melainkan juga keluarga besarnya.

Lalu gue kembali teringat perkataan Irene soal penerimaan dari keluarga. Yang awalnya gue nggak terlalu relate—namun sekarang, gue bisa merasakan betapa pentingnya hal itu. Well, gue memang nggak semantu idaman Adrian. But, I think, gue juga nggak seburuk itu sampai harus ditolak. And that's true, keluarga Irene very welcome. Gue bertemu dengan Mama, Tante, dan Opa Oma Irene. Menghabiskan makan malam bersama mereka yang mana Adrian juga turut diundang. Suprisingly, Opa Oma Irene mengenal Papa, membikin hubungan gue dan Irene nampaknya diberi jalan.

Gue berusaha untuk berbaur dengan keluaga Irene—nggak sulit karena gue memang tipe orang yang suka mengenal orang baru. Mungkin yang sedikit menyulitkan adalah gue harus menghadapi beberapa cewek yang pernah dekat dengan gue sewaktu SMA. Gue santai dengan Shalendra, dia memang kaget saat tahu gue dan Irene pacaran, namun setelahnya dia mengucapkan selamat pada kami berdua. "Wow, I really didn't expect, but congratulation you two!"

"So, di antara keempat cewek yang dari ngeliatin kamu," Irene berbisik pelan mengedikkan kepala ke arah cewek-cewek di dekat food stand yang sedang mencuri pandang ke arah kami. "Which one has slept with you?" gue menoleh menatapnya dengan pandangan 'seriously, babe?', namun Irene malah makin mengejek gue. "Or...maybe...all of them?"

"Come on, kita udah sepakat untuk nggak bahas masa lalu."

"Hey, I'm just asking," sahutnya terkekeh pelan. Lantas melempar pandangan pada Sam dan Glen yang sedang berdansa.

Gue nggak membalas, memilih meneguk minuman di tangan gue. Well, gue cukup senang dengan sifat Irene yang super chill soal masa lalu gue. Artinya hubungan kami nggak akan menghadapi banyak drama. Hanya aja, how can she never be jealous of me? I mean, meskipun dia melihat bagaimana Shalendra menyapa gue dengan mencium pipi gue, Irene tetap berekspresi tenang. Nggak ada setitik pun kecemburuan dari matanya. Sementara gue, damn, gue bahkan ingin menghajar setiap cowok yang menatap Irene penuh minat.

Dia cantik banget malam ini. Bukan malam ini aja, dia cantik setiap hari. Cuma, malam ini dia amazing. Ibaratnya, dia kayak bidadari yang baru aja turun dari surga. Irene menggunakan white dress dengan bahu terbuka. Hal itu bikin dia jadi elegan dan seksi secara bersamaan. Bahunya benar-benar bikin kepala gue pusing.

"Kamu marah ya?" tanyanya kemudian, memegang lengan gue. Matanya menatap gue memelas.

How can? How can, Irene? Gue nggak pernah bisa marah kalau dia sudah menatap gue begitu.

"No," gue menggeleng, melembut suara lantas meraih tangannya. "Mana bisa aku marah sama kamu."

"I'm sorry, kalau pertanyaanku bikin kamu kesel."

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang