t h i r t y o n e

14.2K 1.6K 252
                                    

Setelah bercerai dengan Ayah, Mama menikah lagi. Kemudian gagal. Lalu menikah lagi. Dan gagal lagi. Salah satu hal yang bikin aku nggak bisa dekat dengan Mama adalah karena Mama dengan gampangnya berganti pasangan setelah bercerai. Sementara Ayah bahkan nggak pernah dekat dengan wanita manapun. Inikah yang ia sebut ingin bahagia saat meminta cerai dari Ayah?

Kuakui, aku memang bukan anak yang berbakti untuk Mama. Kami lebih sering bertengkar dari pada bercengkrama manis. Aku keras kepala. Mama pun begitu. Oleh sebab itu, meski berada di satu kota yang sama. Aku dan Mama tetap jarang bertemu. Kalau bukan karena Ayah yang menyuruhku untuk sering-sering menjenguk Mama, aku sekarang nggak mungkin berada di rumahnya. Menikmati makan malam dalam keheningan bukanlah situasi yang membuatku nyaman. Namun keheningan itu berubah ketika Mama tiba-tiba membahas hal yang membuatku tertegun.

"Mama mau kenalin kamu ke teman Mama," ucapnya. "Bisa kamu luangin waktu kamu besok?"

"Mama nggak capek, ya?" tanyaku usai menghela napas berat. "Aku yang ngeliatnya aja capek."

"Maksud kamu?"

Aku menipiskan bibir lantas melepaskan sendok di tangan. "Ayah kurang apa sih, Ma? Ayah selalu nurutin kemauan Mama. Tapi tetap aja itu nggak cukup buat Mama."

Mata Mama membulat, ia menelan saliva sebelum meraih air putih dan meneguknya cepat. "Kamu nggak tahu apa-apa, Irene."

"Apa yang nggak aku tahu, Ma? Aku tahu kalau keluarga Mama nggak suka sama Ayah. Aku tahu berapa kali kalian bertengkar dalam satu hari. Aku tahu Mama yang minta pisah dari Ayah. Aku tahu semuanya, Ma."

Mama diam. Aku menghela napas, meredam emosiku. Mataku terpejam sekilas lalu  membasahi bibir. Sekecewa apapun aku dengan Mama, nggak seharusnya aku bicara seperti ini padanya. "Aku pulang aja. Maaf udah keterlalun sama Mama." Kataku seraya bangkit dari tempat duduk. Namun baru dua langkah meninggalkan meja makan, kakiku berhenti bergerak kala mendengar penurutan Mama.

"Ayah kamu nggak pernah cinta sama Mama."

Badanku spontan berbalik dengan mata melebar mendengar pernyataan itu. Kulihat wajah Mama kini diselemuti mendung ketika memutar kepalanya guna menatapku. "Memangnya ada wanita yang mau hidup dengan pria yang nggak pernah mencintainya?"

Mataku masih menatap Mama tanpa berkedip. Enggan mempercayai apa yang baru saja keluar dari mulut Mama. Nggak mungkin Ayah nggak pernah mencintai Mama sementara yang kulihat Ayah selalu memperlakukan Mama dengan baik dan mendahului Mama dibandingnya dirinya sendiri.

"Maksud Mama apa?"

"Kamu tahu kalau Opa dan Oma nggak merestui pernikahan Mama. Tapi Mama terlalu cinta sama Ayah kamu hingga mengabaikan itu semua. Mama nggak peduli dengan sekitar Mama karena yang Mama inginin cuma bersama Ayah kamu. Meski Mama tahu di hatinya ada wanita lain, Mama pikir, Mama bisa mendapatkan hati Ayah kamu dengan pernikahan kami. Apalagi setelah memiliki kamu, Ayah kamu kelihatan bahagia sekali."

Bibirku gemetar. Menahan tangis. Masih sulit buat percaya.

"Tapi ternyata Mama salah," senyum miris kini terlukis di bibir Mama. "Ayah kamu nggak pernah melupakan wanita itu. Dia selalu ada di hati Ayah kamu dan memimpikan wanita itu dalam tidurnya. Mama nggak sekuat itu untuk terus bersama Ayah kamu, Irene."

Airmataku jatuh. "Kenapa Mama nggak kasih tahu aku dari awal?"

"Karena Mama tahu, bagi kamu, Ayah kamu selalu yang terbaik. Mama nggak mau kamu kecewa dengan Ayah kamu."

Aku langsung menghambur dalam pelukkan Mama. Mengucapkan beribu maaf karena sudah salah paham padanya. Malam itu, aku memutuskan untuk pulang ke apartemen. Mama memintaku untuk tetap menginap, tapi aku sedang ingin sendiri. Aku merasa seperti dihantam beton. Rasa sakit, kecewa, serta rasa bersalah membuat dadaku sesak. Selama ini aku selalu menyalahkan Mama karena meminta cerai dari Papa. Padahal Mama lebih terluka dari yang kutahu.

You Think I'm PrettyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang