Bab 4 Dihalalkan

11.9K 567 2
                                    


Pov: Mila.

"Pernikahan kita hanya di atas kertas, di rumah kamu adalah perempuan bayaranku."

Ucapan itu terngiang di benakku. Akhirnya aku lepas dari tempat laknat itu. Semua berkat laki-laki yang baru saja menghalalkan aku. Ini semua seperti mimpi bagiku, aku tidak tahu harus bahagia atau sedih dengan pernikahanku. Tapi yang jelas untukku, bertemu dengannya adalah garis hidup yang sudah dirancang Tuhan untukku. Walaupun kasar, ketus, dan dingin aku bersyukur bertemu dengannya.

Akhirnya Meira dibebaskan, malam itu saat aku dan Meira mendatangi ruang Tanaka tiba-tiba anak buah Tanaka menyekap Meira dan mengancamku kalau tidak menuruti perintahnya Meira akan dibunuh. Mereka tahu Meira teman yang paling dekat denganku, gadis itu banyak membantuku hingga aku tidak tega. Dan akhirnya aku tahu Tanaka hanya menggertakku. Mana mungkin mereka membunuh Meira, gadis itu salah satu bunga malam yang disukai pelanggan di club.

"Om makasih ya udah bantuin aku, Mila janji nggak akan ngecewain Om," ucapku memecah keheningan. Sepanjang perjalanan tadi kami tidak bersuara. Omku sibuk dengan setirannya.

"Kamu suka banget manggil saya Om... Om... Dikira orang aku sugar daddy kamu!" ucapnya dengan satu alisnya terangkat. Aku masih memiringkan tubuhku melihatnya. Sedikit terlonjak Om itu berucap.

"Um... Jadi aku mesti manggil apa Om? Pak?" tanyaku ragu-ragu. Dia menolehku dengan tatapan tajam. Semakin tidak suka mungkin aku sebut Pak. Lantas apa dong? Masa Bang, sayang apalagi. Mas? Sepertinya dia lebih tidak suka itu.

"Coba tebak umur aku berapa?" tanyanya. Aku memperhatikan wajah tampan sebelahku, rahangnya tegas menunjukkan dia berwibawa. Bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan pria yang merokok. Aku menggeleng, berusaha tidak terpengaruh oleh wajah tenang Alister.

"Umm, berapa ya Om. Takutnya aku salah nebak. Om marah lagi," ucapku, dia tidak menjawab hanya menoleh saja. Seperti ingin sekali aku tebak. "25 ya...?"

"Aku semuda itu, kamu menyindir aku? Kalau aku awet muda seperti itu, kenapa kamu panggil aku Om?" katanya dengan satu alisnya naik. Tangannya tetap fokus pada setiran sesekali menoleh padaku.

Aku senang dia mulai banyak bicara padaku, kataku. "Muka Om ganteng sih, badan Om juga bagus... Masa iya udah paruh baya." Sepertinya dia tersindir, tarikan nafasnya kasar.

"Tambahin tiga dari tebakan kamu." Ucapnya, aku membuka satu tangan jariku lalu menghitungnya. Dia melirikku sebentar, di matanya mungkin aku bodoh. Tapi, sebenarnya aku tidak ingin salah tebak takut dia tersinggung.

"Dua puluh delapan, Om?" Ucapku terkejut, wooww... Muka Omku muda sekali. Aku tidak menyangka umurnya sudah segitu.

Dia menyentuh tulang pipinya bangga. "Ngitung segampang itu aja pakek jari tangan, bodoh banget. Tamat sekolah nggak sih? Emang kamu umurnya berapa sampe anggep aku Om-Om?" tanyanya, membuatku tertunduk.

"Om nggak lihat kertas yang Om tanda tangani? Di situ kan ada nama Karmila, tanggal dan tempat lahir tertulis jelas. Saya masih 16 tahun Om," ucapku pelan. "Aku aja sampe ngapalin nama Om, Alister Bagaskara." Ya, itu adalah nama suamiku. Aku hanya berani menyebutnya Omku, Sebelum dia mengizinkan aku untuk mengakuinya sebagai suamiku.

"Ehmmm, pantes bapak penghulu melototin saya. Kamu masih 16 tahun," ucapnya, kulihat jakunnya naik turun. Dia tampan dengan bulu tipis menjadi berewoknya. "Disangka pendofil," ucapnya. Aku menahan tawa takutnya dia marah.

"Dua bulan lagi aku 17 tahun, Om." Kataku. Dia terdiam sejenak, lalu menoleh padaku.

"Jangan panggil aku Om lagi... " Ucapnya terhenti, lalu berkata. "Inget ya Mila, aku orangnya terbuka. Dan jangan coba-coba kabur..." ucap Alister penuh penekanan, aku mengangguk tanda patuh. Duduk di sampingnya saja membuatku senang. Kelihatannya dia tidak jijik dengan penampilanku yang udik.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang