POV: Alister.Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga.
"Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku.
"Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila.
"Ukuran jarinya?" tanya wanita itu. Aku terdiam sejenak membayangkan jemarinya yang setiap hari kugenggam, waktu itu--tiap malam kami bersama. "Bisa saya pegang jari manis anda? Istri saya punya postur tubuh seperti anda." Wanita itu pun menyodorkan jarinya tanpa pikir panjang, wajahnya tersipu. Pas seperti yang kubayangkan.
Aku beranjak dari toko itu setelah membawa kotak perhiasan dengan tersenyum. Ah, aku harus menelponnya dulu untuk menungguku pulang. Dan juga mengingatkannya untuk menjauh dari laki-laki bodoh di sekolahnya.
Istri kecilku itu terlalu polos, dia selalu berpikiran positif dan cepat percaya pada orang lain. Andaikan dunia ini semua manusia seperti Milaku--What? Apa yang sedang aku pikirkan ini. Yeah, aku mungkin terlalu bersemangat untuk memberikan Mila kejutan.
"Mila? Kamu dimana?" pertanyaan bodoh bukan? Sudah pasti di sekolah. Tapi aku ingin tahu dia sedang apa sekarang.
"Ya di sekolah lah, Mas. Masa di kantor Mas Ali toh. " Jawab Mila dari seberang. Suaranya kesal tapi tetap lembut walau sedang marah.
Aku menghela nafas, wajahnya pasti sangat menggemaskan bicara medok begini. "Aku tahu. Tapi aku ingin tahu apa yang kamu lakukan sekarang."
"Mila di perpustakaan, baca buku Mas. Lagi males ke kantin. Lagian kan, Mas. Aku kan ndak punya duit buat jajan." Dahiku mengkerut mendengar itu. Kalau saja dia melihat wajah kesalku.
"Kamu jangan ngada-ngada, Mila! Aku kasih kamu amplop di atas meja belajar kamu setiap Minggu. Apa itu sudah habis?" tanyaku bernada tinggi. Beberapa orang yang kulewati menoleh karena suaraku.
"Mbok ya jangan marah-marah toh, Mas. Nanti ada yang denger gimana?"
"Peduli apa aku! Aku mau marah, mau ketawa itu urusan aku. Kamu cukup dengar kata-kata aku," tegasku, Mila harus tahu bahwa suaminya ini adalah pengacara handal yang tidak takut siapapun. "Jadi kemana kamu bikin uang yang aku kasih? "
"Ndak usah, Mas. Makasih. Amplopnya aku masukin lagi ke tas kerja Mas Ali lagi. Aku ndak bisa terima, Mas Ali udah baik mau nyekolahin aku. Masa aku terima bayaran lagi." Suara Mila seperti berbisik.
"APA??" Pekikku, tidak mengerti jalan pikiran wanita itu. "Dengar Mila, itu bukan uang bayaran. Aku kasih kamu uang karena itu tanggung jawab aku sebagai suami untuk menafkahi kamu, istri aku. Bodoh!" karena kebodohan Mila moodku rusak. Aku mematikan ponsel lalu berjalan cepat ke parkiran. Sampai di mobil, aku membongkar tas hitam yang ada di bangku belakang.
Lihat apa yang kutemukan di realseleting belakang tas. Beberapa amplop putih yang aku berikan pada Mila. Sial! Aku memukul setiran mobil, meruntuki diriku sendiri. Kenapa aku jadi prihatin pada wanita itu.
Kalian lihat sendiri bagaimana lugunya gadis kecilku, kalau wanita lain pasti sudah meminta jatah bulanan lebih banyak lagi.
"Mila... Mila... Kamu itu hidup di kota bukan hutan. Di sini masuk toilet aja bayar." Gumamku. Rasanya hidupku seperti sedang di tegur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Romance( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...