Bab 23 Terjebak di hutan

7.3K 356 0
                                    

Mila menutup bukunya dan memasukan ke tasnya, akhirnya matkul hari ini selesai. Wajahnya sembab karena menangis, dia pun bingung apa yang dia tangisi. Keluarganya masuk penjara atau dia tidak ingin kehilangan suaminya.

"Hei, kamu gadis obat merah itu, kan?"

Mila menoleh pada suara berat yang menghampirinya. Matanya menyipit mengingat-ingat apakah dia mengenal laki-laki ini.

"Astaga... Mas yang nolong aku waktu kecelakaan itu kan. Obat merahnya manjur, langsung kering luka aku lho." Mila bersuara riang. "Jadi dosen yang nerangin dari tadi itu Mas toh?"

Fabian meringis mendengar Mila tidak mengenalnya dari awal. "Aku jadi kecewa, dari tadi aku liatin kamu. Tapi ternyata kamu gak inget ya sama aku." Dari pertama bertemu Fabian langsung memasukan wajah Mila dalam ingatannya. Pertemuan mereka sangat berkesan baginya.

"Maaf lhoo Mas, aku tadi gak fokus. "

"Gak usah minta maaf. Kelas udah selesai, mau pulang? Aku juga mau pulang. Mau barengan." Fabian menawarkan. Laki-laki berkemeja putih ini tidak mau membuang kesempatan.

"Aduh maaf ini Pak dosen, aku gak enak nanti dilihat orang. Murid baru jalan sama gurunya." Fabian terkekeh mendengar ucapan Mila. Kemarin alasannya suami sekarang alasan karena dia dosen. Sebenarnya Fabian tidak percaya Mila sudah menikah. Masih muda dan bentuk tubuhnya masih terawat.

"Jangan terlalu memikirkan perkataan orang lain Mila, aku laki-laki single dan itu point utamanya." Fabian tersenyum berkharisma, siapa pun wanita pasti terhanyut. Sayangnya Mila lebih menyukai senyum berwibawa Alister.

Fabian sengaja berjalan searah dengan Mila padahal tempat parkirnya bertolakbelakang dengan arah Mila berjalan.

"Minggu depan ada presentasi, apa kamu sudah siap? Aku bisa bantu kamu mempersiapkannya, bisa aku minta nomor telepon kamu, kan?" Ucap Fabian.

Mila menepuk jidatnya kuat. "Aku sampai lupa, Pak." Mila pun menyebut nomor teleponnya. "Tapi ngomong-ngomong Minggu depan toh Mas? Bukan bulan depan?" ujar Mila melihatnya masih bingung. Fabian menutup bibirnya menahan tawa.

"Iya-iya, Minggu depan apa Bulan depan ya?" Fabian berpura-pura.

"Lho Mas ini gimana sih kan Mas yang ngasih tugas kok bisa lupa." Mila mengernyit. Fabian tersenyum yang penting nomor telepon Mila sudah di tangan. Cewek secantik ini mana bisa di kasih lolos.

"Maklumlah faktor umur, Mila."

Fabian memasukan tangannya ke saku celananya, mendengarkan Mila berceloteh dengan wajah serius tapi sangat menggemaskan. Mereka melewati koridor lantai dua.

"Oh, jadi Mas juga pengusaha. Banyak banget kerjaan Mas Fabian toh."

"Panggil Bian aja Mila biar lebih dekat."

"Biar lebih dekat? Emang gak ada yang marah kalau aku dekat-dekat sama dosen ganteng. Aku ini udah trauma dimarah-marahin orang terus," cerita Mila. Alis sebelah Fabian naik--wanita ini apa spesialis kena marah ya?

"Kamu ini hidupnya rumit ya Mila? Perasaan kamu selalu bilang kena marah, kena marah. Emang siapa yang suka marahin kamu, bilang sama aku. Gini-gini aku juga jago karate." Kata Fabian berjalan sambil menatap Mila.

Mila terkekeh. "Mas ini ternyata banyak kelebihan ya. Tapi aku ini udah terbiasa kena marah sama dia, kalau gak dimarahin malah jadi rindu gitu lhoo."

Fabian menghela nafas. "Kamu ini perempuan aneh. Dimarahin bukan benci malah rindu."

Mila menepuk dua kali lengan Fabian, seakan mereka ini teman yang sudah lama kenal. "Mas-Mas, aku mau lho diajarin bikin usaha. Mana tahu suatu hari aku pingin jadi pengusaha, kan Mas Bian bisa jadi mentor ku."

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang