POV: Alister.
Aku tersentak dari baringanku. Kelopak mataku yang berat terbuka mendengar suara wanita yang menangis, aku menoleh pada sumber suara itu. Mila sedang bermimpi buruk, gadis itu meraung-raung dalam tidurnya. Keringat dan air mata bercampur jadi satu, gadis itu sedang ketakutan.
Aku menyentuh pipinya lembut, kulitnya terasa dingin. Raut wajahnya seperti di kejar-kejar hantu.
"Hmmmmm.... "
"Tolong... jangan ganggu Mila, Tante tolongin Mila takut."
"Tolong... ibu... Mila takut."
"Mila, kamu kenapa?" Aku menggoyangkan pipinya, berusaha membangunkan Mila, kenapa dia ketakutan seperti ini? Aku baru pertama kali melihatnya bermimpi buruk. "Mila... Heii, bangun. "
"Mila!!" Mata Mila terbuka tiba-tiba, dia menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum sadar sepenuhnya.
"Kenapa kamu? Mimpi buruk, hm?" Aku mengangkat tubuhnya agar bisa duduk dengan selimut menutupi tubuhnya, setelah kami bercinta kaki tertidur tanpa pakaian. Bisa kudengar nafasnya yang tersengal-sengal seperti habis lomba lari.
"Kamu gak papa?" Tanyaku lagi.
"Mila takut Mas." Isak Mila, entah kenapa aku membiarkan dia memelukku erat. Tanganku pun tergerak begitu saja membelai bahunya.
"Jangan nangis ya, kamu cuma mimpi buruk," tapi Mila semakin memelukku. Seburuk apa mimpinya? Kalau saja aku bisa masuk ke dalam mimpinya, pasti tak akan kulepaskan orang yang membuat Mila seperti ini.
"Mas aku takut."
"Memang kamu mimpi apa?" tanyaku lembut, selain dengan Kezia aku yakin tidak pernah selembut ini pada wanita manapun. Mila menggeleng, membuatku bingung mau berbuat apa.
"Maaf ya Mila kemarin aku gak jemput kamu, tiba-tiba ada urusan mendadak," aku mencium keningnya, itu terjadi begitu saja. Aku membaringkan tubuhku agar Mila bisa kembali tidur di pelukanku. Dan besok aku harus memeriksa diriku ke pisikiater.
"Gara-gara gak dijemput, aku pulang udah kemaleman lho, Mas. Aku nungguin terus tapi ndak dateng-dateng. Tak kira kenapa-napa. Kalau Mas ada apa-apa aku harus cari kemana toh?" aku jadi merasa bersalah mendengar itu, tapi salahnya sendiri kenapa tidak menerima uangku. Atau dia bisa saja pulang tanpa menungguku. "Untung ada Meira yang jemput aku."
Meira itu temannya yang paling sering ia ceritakan. Waktu itu aku pernah bertanya siapa orang terdekatnya, kalau terjadi sesuatu aku bisa tahu kemana aku pergi bertanya.
"Harusnya kamu pulang aja jangan tunggu aku. Jadi orang harus pinter sedikit." Tanganku mencubit hidung mancungnya. "Misalnya ada yang nyulik kamu terus ambil organ tubuh kamu gimana? Mahal lhoo harganya, aku juga kalo butuh uang gak segan-segan jual ginjal kamu," dipikir aku tidak tahu pikiranmu Mila.
"Ih, Mas... Kok gitu toh? Kalau aku gak punya ginjal lagi gimana? Emang Mas sukanya sama cewek ndak punya ginjal, ya?" wajah Mila serius membuatku ingin tertawa. Tangannya yang menempel di dada telanjangku membuat pikiran melayang pada pembicaraan mesum Mila dan temannya.
Kalau saja Mila tahu apartemen ini aku pasang CCTV pasti dia akan malu, mana berani peluk aku seperti ini.
"Mila kamu kalo mau pake bahasa daerah kamu jangan tanggung-tanggung. Nanti aku dituntut hak asasi manusia, disangka mendeskripsikan kamu."
"Jangan ngegas toh Mas, aku kan ndak merasa diapain itu des-skripsi? Aku kan cuma pingin Mas gak terganggu sama kata-kata aku.... tapi kok Mas gitu ngomongnya?" tanyanya.
Kuperhatikan wajah Mila yang mendongak padaku, terlihat kebingungan. Kamu tidak tahu Mil, aku sudah pasang cctv ke sekeliling rumah ini. Sekarang dia cukup berani menatap mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan istri bayaran
Romance( Rate21+ ) Karmila, perempuan yatim piatu yang dijual oleh Omnya ke menjadi wanita penghibur, dia wanita yang kuat dan mandiri diusianya yang masih muda. Untuk menjaga kehormatannya dia rela melakukan apa pun. Alister Bagaskara, pengacara sukses y...