Bab 25 Rival

7.3K 345 0
                                    

Pagi-pagi sekali Nenek membuat dapur beserta pelayan-pelayannya sibuk mempersiapkan menu makanan sehat untuk kesuburan pasangan suami-istri itu supaya Mila cepat hamil. Subuh tadi Alister joging sebelum dia meeting jam sepuluh pagi nanti.

"Aduh Mbah aku ndak sanggup lagi minum jamunya, gelas besar lagi." Mila memasang wajah cemberut, sambil menatap gelas bekas jamunya.

"Tinggal dikit lagi Mila cepat habisin," paksa wanita ber-uban penuh itu. "Ini bagus untuk kesuburan kamu. Percuma saya suruh kamu lebih agresif di atas ranjang tapi gak hamil-hamil. Mulai sekarang kamu harus dapetin simpati Ali jangan cuma pinter melayani dia saja." Lagi-lagi Nenek mengajari Mila untuk memikat Alister. Bahkan gerakan-gerakan di atas kasur sebagian adalah koreografi Nandia yang diajarkan kepada Mila.

"Mana mungkin Mas Alister bisa nerima aku Mbah. Dia itu marah-marah aja sama aku."

Nenek mengelus rambut panjang Mila yang diikat kuda. "Sebenarnya Ali itu bukan benci sama kamu. Hatinya itu lembut, dia pasti nerima kamu asal kamu sabar ya."

"Sekalian rubah itu penampilan kamu, kapan-kapan aku ajak ke salon biar fresh." Ucap Nandia yang sekarang warna rambutnya ungu.

Mila bergidik. "Aduh Tante aku ndak mau rambutnya kayak Tante berwarna-warni begitu. Nanti malah aku di suruh tidur diluar sama Mas Alister." Ujar Mila.

Nandia mencebikkan bibirnya. "Ini namanya fashion, dasar kampungan." Nandia mengacung-acungkan garpunya ke arah wajah Mila. "Belajar kamu dandan, pakai pakaian sedikit terbuka yang sexy biar Ali pulang betah di rumah." Udah sableng ini Nandia.

"Woohh... Ndak perlu Tante. Mas Alister itu suka masakan aku. Apalagi sayur asem, sambel terasi sama tempe goreng. Lahap dia makannya. Ndak perlulah pakai kayak gituan." Mila tersenyum bangga. Dia belum menyentuh makanannya. Menunggu Alister pulang dari jogingnya untuk makan bersama.

"Kamu harusnya niru Mila, Nandia. Kamu tiap hari ke sini. Siapa yang masakin suami kamu? Pagi-pagi kamu sudah numpang makan di sini." Nenek melihat Nandia dengan mata memperingati. "Untung si Panca nikahin kamu karena rambut pirang kamu, bukan karena kamu pinter masak. Masuk dapur saja tidak pernah."

"Jangan bawa-bawa Panca bisa gak sih, Mih." Decak Tante rambut pirang. "Semenjak ada Mila Mami lupa aku yang nemenin hari tua Mami? Sekarang aku dilupain kayak anak tiri." Nandia mengomel terus sambil memasukan sendokan omelet ke mulutnya.

Mila senang Nenek dan Tante Nandia menerimanya, dia seperti mendapatkan keluarga baru yang menyayanginya. Dia tidak pernah menjahati orang dan mungkin ini adalah balasan dari Tuhan.

Dari pintu masuk Alister muncul dengan keringat yang memenuhi wajahnya. Kaos berlengan pendeknya memperlihatkan otot-otot yang tidak begitu besar namun terbentuk. Nenek memberikan kode dengan matanya untuk menyusul Alister naik tangga.

"Mass... Tunggu-tunggu, jangan naik tangga bisa? Kita naik lift aja," seru Mila di belakang Alister. "Aku ndak kuat naik tangga. Sakit betisku."

"Kok kamu yang ngatur-ngatur aku, Mila?"

"Aku kan cuma ngajakin lhoo," gumam Mila. Dengan terpaksa dia mengikuti Alister di belakang.

"Ngapain kamu ikutin aku? Udah sana lanjutin makannya. Nanti Mang Udin yang anter kamu kuliah." Ujar Alister tanpa menoleh padanya.

"Mas ajalah yang nganter aku, ya." Mila berkata sambil melihat wajah Alister. Setelah apa yang mereka lakukan tiap bertemu membuat tubuh mereka sama-sama rileks jika berhadapan.

Woohh, berani sekali pikir Alister. "Gak. Aku ada meeting gak bisa anter kamu." Alister melangkah lebar mendahului Mila. Tapi gadis itu tidak menyerah.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang