Bab 37 Menutup kisah

7.2K 352 1
                                    

POV: Mila.

Jam delapan pagi dan orang-orang belum pada dateng, yang ada di kepalaku 'Okeh Meira pengantin baru, terus apa kabar dengan Alona? Jam segini masih ngaret udah tahu banyak kerjaan' Aku memilih pakaian yang akan kami post untuk jualan online- kalau kalian mau tahu penghasilannya lebih dari lumayan. Aku punya motor dari hasil kerja kerasku, tabungan untuk masa depan.

Setahun lalu saat aku dan Meira jalan-jalan ke mall, di sana ada peragaan busana. Saat itulah terpikir oleh kami membuat usaha ini bersama Alona, sepupu Meira. Studio kami bukan di pusat kota tapi bukan juga perkampungan. Bisa dibilang adiknya ibukota.

Aku berharap Alona segera datang sebelum darah tinggiku naik, dan akibatnya bisa fatal. Dari pagi sampai malam mulutku tak akan berhenti menggerutu.

Aku menyalakan laptopku, melihat penjualan kami dan mengecek barang. Aku menepuk jidat, sampai lupa menanyakan kabar Fabian. Manusia itu jauh-jauh datang ke pernikahan Meira dari pusat kota naik mobil. Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Saat aku hendak mendial nomor Fabian, ketukan pintu membuatku terkejut.

"Pagi..." Alona tersenyum lebar berjalan ke mejanya. Dari belakangnya Meira muncul, harusnya dia libur saja kan masih pengantin baru.

"Kamu gak liat jam berapa, Na?" kataku dingin. Lalu Alona menaikan tangannya melihat jam bertali merah itu.

"Masih pagi kok," ucap Alona--wanita bertubuh jangkung dan ramping ini terkadang dia kami gunakan sebagai model gratis. Lumayan daripada bayar model untuk promosi barang.

"Kamu gimana sih? Kita kan ada kerjaan pagi ini. Moto badan kamu yang gak seberapa itu, post barang ke Instagram. Life streaming juga, ngirim barang," aku memberitahu, satu tanganku berkacak pinggang dengan sebelah alisku naik ke atas.

"Mila, masih pagi udah marah-marah aja. Heran deh kamu semakin hari semakin tensian. Entar cepat tua lho." Meira memijit bahuku tiba-tiba lalu mendudukanku ke kursi. "Santai okeh. Biar aku yang ambil foto sama Alona." Dia memandang Alona agar wanita itu cepat berganti baju.

Aku menarik nafas agar santai. Duduk di kursi menonton mereka. Alona berpose dengan background batu bata yang sengaja kami beli untuk kebutuhan syuting. Highlight di sisi kanan kiri. Sementara Meira--kemampuan fotografernya lumayan walaupun otodidak.

"Alonaa... Badannya jangan kaku gitu dong, senyum. Ngerti senyum gak sih?" Aku kemudian berjalan ke arah Alona memberikan dia contoh berpose ala Mila. "Senyum kamu itu kurang keluar."

"Iya ini udah senyum. Gigi aku sampe kering gini masih kurang tah?" sahut Alona.

"Gak dapet feel-nya Na... Gak dapet," teriakku. "Dadanya agak ke depanin. Pinggulnya juga mesti nonjol," kataku terus memprotes gayanya yang menonjolkan pinggulnya. Untung dia gratis jadi model--jadi tidak rugi banget lah pakai dia.

"Kamu aja deh yang meragain, Mil. Aku yang mandorin, lagian kalau kamu jadi model sudah pasti banyak peminatnya. Apa pun yang kamu pakai selalu sold-out," ujar Alona. Aku pura-pura tidak mendengar, berjalan kembali ke kursiku. "Ayolah Mila... demi penjualan kita." Bujuk Alona. Meira diam saja, dia pasti tahu apa yang kupikirkan. Aku tidak mau ada orang yang tahu kehidupanku, terutama orang sana.

"Lona, jangan paksa ...." tegur Meira.

Aku menyukai hidupku yang sekarang. Menenggelamkan diri dengan kesibukan yang membuatku lupa waktu. Dan kuakui--bayangannya semakin pudar. Aku menyibukkan diriku dengan laptop agar Alona tidak banyak bertanya.

"Btw, cowok ganteng itu gimana Mila?" tiba-tiba Alona nyeletuk. "Siapa namanya?" Dia mencoba mengingat.

"Fabian?" tebak Meira. Alona menggeleng, aku hanya melirik dia sekilas lalu tidak mau ambil peduli. "Elkana?" Meira antusias.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang