Bab 40 Hujan turun

6.2K 327 1
                                    

POV: Mila.

Air mataku yang mengingatkanku padanya. Aku mencoba menghapusnya dalam ingatanku tapi aku tidak bisa, karena setiap menangis air mata itu memiliki ruang atas namanya. Tapi aku sadar hatiku yang sekarang tanpa cinta dan kasih sayang untuk dia.

Dengan bersedekap dada dan tatapan tajam aku berdiri di depan pintu menghalanginya untuk masuk. Mau apa lagi dia ke sini? Aku pikir setelah pertemuan kami dua hari yang lalu pria ini tak akan lagi datang.

"Mau apa lagi kamu ke sini?" tanyaku sinis.

"Aku boleh masuk dulu?" alih-alih menjawab dia malah meminta. "Kalau kita bicara seperti ini, orang akan berpikir kita suami-istri yang sedang bertengkar." Aku membulatkan mata melihat tampang tak berdosanya.

"Siapa istrimu? Mungkin kamu lupa kita sudah menjadi orang asing," jelasku. Aku pikir urat saraf laki-laki ini terputus, sehingga ucapannya mulai aneh-aneh. "Pergi dari sini, kamu gak diterima di tempat ini." Aku menatapnya yang memasang wajah datar.

"Izinkan aku masuk."

Aku tetap tidak mau menyingkir, dia tidak boleh masuk ke tempat kerjaku. Tanpa kuduga dia malah mengangkat tubuhku ke belakang, sementara seluruh indraku merespons keberadaannya.

"Lepaskan brengsek!"

Dia malah terkekeh. "Wow... lihat siapa yang berbicara kasar sekarang? Kamu berubah jadi wanita pembangkang ya?" Dia mengacak puncak rambutku seperti anak kucing. Dia bahkan tidak memperdulikan wajah keterkejutan dan kemarahanku.

Sedangkan Alona dan Meira yang ada diruang itu terperangah melihat perlakuan Alister. Mereka pasti berpikir Alister memiliki kepribadian ganda. Mereka melihat Alister yang mengesankan sekarang dan berfantasi atas ceritaku yang mengerikan tentang Alister selama ini.

"Mau minum kopi atau teh hangat, Pak?" tawar Alona, mulutku berdecak melihat wanita itu. Bisa dilihat mata Alona sangat mengagumi Alister.

"Jangan tawari dia apa-apa."

"Mila... " Meira menarik nafas. Yang ini memang tidak suka akan kedatangan Alister. "Apa perlu aku panggil orang untuk mengusirnya?" Aku menggeleng menyahuti Meira, Alister bukan tipe orang yang akan lembut jika dikasari. Apalagi diusir dengan bantuan orang lain, aku yakin jika itu terjadi Meira dan keluarganya tidak akan aman lagi dibuat Alister.

"Aku lupa ada barang yang harus dikirim sekarang." Alona menepuk jidatnya kuat. "Ayok, Mei.... Mila, kita berdua kayaknya nanti langsung pulang soalnya udah sore gini?" Ucap Alona sembari menarik tangan Meira. Aku hendak protes tapi mereka sudah bergerak cepat.

Lalu aku mendelik tajam pada Alister supaya dia tidak macam-macam saat kami hanya berdua di tempat ini. Tapi si pria tak punya hati itu malah mengabaikan mataku.

Aku benci cara dia menatap tubuhku seperti sekarang ini. Dia terang-terangan mengamati. "Perubahanmu sangat dratis ya. Badanmu juga terasa berat daripada yang dulu."

Mataku berkilat-kilat penuh amarah. "Bisakah kamu keluar sekarang? Aku gak terima tamu apalagi itu kamu."

Seandainya aku dulu bisa melawannya seperti ini. Mungkin dia tidak akan bisa mengendalikan diriku sepenuhnya. Tapi seorang Alister Bagaskara tetaplah Alister, pria sombong dan angkuh. Selalu menggunakan insting untuk mendapatkan yang dia mau.

Alister duduk santai menatapku di sofa. Ingatkan aku untuk menyemprotkan anti virus pada sofa coklat itu nanti.

"Aku datang untuk menyuruhmu menjual tempat ini. Jika kamu terus mempertahankan tempat ini, keselamatanmu dalam bahaya." Ujar Alister. Apa dia sedang mencemaskanku? Aku terkekeh sinis.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang