Bab 14 Dia Berarti

6.4K 374 1
                                    


POV: Mila.

Meira, sahabatku itu sejam lalu menjemputku dengan keadaan yang tidak kalah memprihatinkan. Rambutnya bau sambel, matanya sembab. Bibirnya terlihat bengkak. Tapi Meira tetap tersenyum saat kami bertemu. Aku tidak akan ceramah seperti orang suci, dia mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.

Jadi aku putuskan membawa Meira ke apartemen Alister, di sini kamar mandinya lengkap dengan bermacam-macam sabun dengan aroma yang harus kelas atas.

"Aku gak-papa, Mila," kata Meira berjalan ke arahku. Dia baru selesai mandi, semoga saja Mas Ali tidak marah aku membawanya pulang. Mana mungkin aku membiarkan Meira pergi dengan keadaan seperti itu.

"Untung kamu gak pingsan... kalau ada apa-apa aku bakal minta tolong sama Mas Alister nuntut mereka," omelku seraya mengangkat dua mangkuk mie ke atas meja. "Mulut kamu gakpapa? Masih bisa makan kan?" Tanyaku khawatir. Dia mengangguk. Tadi di pinggir jalan mau pulang aku sudah membeli obat merah, tapi Meira tidak mau diobati. Benar-benar sangat kuat.

"Jangan kasih tahu dia, Mila... aku pernah ketemu dia mukanya es banget," katanya. Aku mengernyit, memang aku pernah menunjukkan foto Mas Alister pada Meira. Tapi kapan mereka bertemu? Dia seperti bisa membaca pikiranku. "Dia pernah dateng ke club, malam... apa gitu lupa aku."

Aku ingat malam itu saat dia mabuk. Mie di mangkuk tidak membuatku selera lagi. "Apa dia ketemu Tanaka? Dia cari perempuan lain lagi, menurut kamu--"

Meira memotong ucapanku. "Namanya cowok Mila--gak cukup satu. Makanya kamu service dia sampe dia gak bisa lepas dari kamu." Aku meneguk saliva susah payah, wajahku pasti sudah merona.

"Caranya?" Tanyaku ragu-ragu. Selama ini aku hanya ikuti apa yang diinginkan pria itu. Mana kutahu ada cara men-service laki-laki.

Meira tertawa. "Pakek baju sexy sampe dada kamu menyembul keluar. Kalau perlu hisap juniornya--"

"Aaaaa... jorok!" Umpatku, ucapan Meira sungguh frontal. Kalau soal beginian Meira memang ahlinya. Dia banyak pengalaman dari bermacam-macam pria. Meira terbahak sambil menahan perutnya dengan tangan. "Gak bakal mau aku gituan... "

"Dia gak pernah jilat yang bawah?" Meira tersenyum jahat. Aku terdiam dengan raut bergidik. "Minta dia lakuin itu. Rasanya kamu bakal ketagihan... melayang ke udara Mila." Parah banget emang pikiran mesum Meira. Aku menggeleng membayangkan, tapi sesuatu di bawah mulai berkedut.

"Udah gak usah bahas gituan lagi." Kataku menyentuh pipiku yang memanas. Kemudian mata Meira terlihat mengagumi sekeliling.

"Kamu beneran tinggal di sangkar emas, Mila." Komentarnya. Sebentar lagi lehernya pasti keselo.

"Sangkar emas yang sementara," gumamku. Bahkan aku sendiri tidak tahu batas waktu aku tinggal di sini. Yang jelas tidak untuk selamanya.

Setelah menghabiskan mie, kami pindah ke ruang tv. Aku melihat jam dinding pukul 11 malam laki-laki itu belum pulang, dia juga tidak memberi kabar... siapa aku yang mengharapkan dia menelpon.

"Aku nginap di sini aja ya, Mil. Sekali-kali ngerasain tidur di Apartemen mewah kayak gini. Jam segini aku pulang, bisa-bisa diculik. Terus kalo aku diperkosa gimana?" Aku tertawa mendengar itu, sejak kapan seorang Meira takut pulang malam.

"Iya ndak apa, Mei. Lagian om itu kayaknya gak pulang udah jam segini," ucapku melihat acara reality show di tv.

"Kamu udah gak medok lagi, tapi kadang medok lagi bahasamu. Apa dia ngelarang kamu pake bahasa daerahmu? Banyak gaya banget dia." Meira terlihat geram, dia melihatku seakan aku lah Mas Alister. Aku meletakkan jariku ke mulutku.

Bukan istri bayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang